Calo
Ide menawarkan HGB/Hak Guna Bangunan selama 160 tahun ke depan itu fatal dan pongah. Hadi Tjahjanto, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), menyuarakannya demi pembangunan IKN, ibu kota negara, di Penajam Paser Utara, Kaltim. Setelah Softbank, investor raksasa Jepang, menarik diri; investor pengganti tak kunjung muncul. Jalan pintasnya: obral murah, konsesi mahapanjang dan tax holiday 30 tahun yang melukai rasa keadilan.
Angka 160 bersumber dari UU Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria 1960: pemberian HGB 30 tahun, perpanjangan 20 tahun. Kemen ATR/BPN menambahkan 30 tahun pembaruan. Jadinya 80 tahun. Lalu, 80 tahun untuk siklus kedua. Padahal, UUPA 1960 tidak mengenal pembaruan hak atas tanah. Tidak juga siklus dalam pemberian hak atas tanah. Jikapun mengacu pada UU Cipta Kerja, tetap tidak sah. Sebab, kata Sekretaris Jenderal KPA/Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, UU Cipta Kerja telah dinyatakan inkonstitusional oleh MK.
Bagi Anggota Komisi V DPR RI Suryadi Jaya Purnama/PKS, tawaran itu berpotensi menciptakan konflik agraria, monopoli tanah, dan mengancam eksistensi tanah adat, melupakan rakyat banyak, khususnya petani yang 80 persennya tidak memiliki lahan, dan memanjakan konglomerat, termasuk asing dan aseng.
Melalui Otorita IKN saat ini, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf tidak berhak memberikan HGB selama 160 tahun. Melanggar UU dan membahayakan kedaulatan negara,” tutur Direktur Siyasah Institute, Iwan Januar. Ide ini, kata Dewi, bahkan melanggar konstitusi. Sebab, UUPA 1960 sebagai payung hukum agraria nasional merupakan terjemahan dari Pasal 33 UUD 1945, yang melarang adanya monopoli tanah oleh segelintir kelompok.
Pemerintah seolah-olah sedang menjadi perpanjangan tangan dan bekerja untuk kepentingan para investor. "Menteri Hadi Tjahjanto lebih terkesan seperti calo tanah alih-alih sebagai Menteri ATR/BPN yang seharusnya bekerja memastikan penyelesaian konflik agraria dan redistribusi tanah untuk rakyat," ujar Dewi Kartika.
Seperti sudah jatuh tertimpa tangga, ide 160 tahun itu dibarengi kebijakan second home visa. Mereka dapat tinggal 5 atau 10 tahun dan boleh melakukan berbagai macam kegiatan, termasuk investasi—meski dengan syarat punya uang/jaminan Rp2 miliar. Ini sangat berbahaya dan mengancam stabilitas negara. Niscaya akan terjadi migrasi besar-besaran WNA. Khususnya Cina. Ketika PPKM saja arus warga Cina datang tanpa kontrol, apalagi diberi second home visa.
Mudah menduga, kebijakan visa ini berkaitan dengan (dan dimanfaatkan untuk) kepentingan politik jelang Pilpres 2024. Tapi, dampak seriusnya baru akan terasa beberapa tahun ke depan, jika didiamkan. Ini mirip sejarah Palestina yang terlalu husnudzon menampung migrasi warga Israel tahun 1940-an. Alhasil, Palestina ngemis atas hak mereka. Terlambat. Militer Israel di tanah Palestina sudah telanjur kuat. Akankah Indonesia mengulangi tragedi kelam Palestina? Moga jangan.
Salam,
Irsyad Muchtar