Untung
Nama Morowali dan Konawe berkibar berkat bijih nikel. Hasil penambangan perusahaan Cina di sana, 95 persennya dikirim ke Shanghai, Cina. Di Shanghai harganya US$80/ton. Ajaibnya, pemerintah RI resmi menetapkan harga (buat Cina) US$34/ton. Dipidatokan pula bahwa kita dapat rezeki nomplok Rp450 triliun. Untung memang, jika disimak menggunakan logika Abu Nawas.
Situasinya idem dengan 2002. Saat itu LNG (gas alam cair) proyek Tangguh di Bintuni, Papua, diobral kepada Tiongkok. Hanya US$2,4/mmbtu dan kenaikannya dipatok maksimal US$3,35/mmbtu. Tanpa tender. Kontrak 25 tahun. Mematok harga LNG maksimal US$3,35/mmbtu itu sangat salah. Sebab, tahun 2014 saja harganya sudah US$18/mmbtu. Via renegosiasi 1 Juli 2014, harga agak terkatrol.
Konsep hilirisasi tambang nikel lewat smelter-smelter cuma mengolah jadi pellet, nickel pig iron, ferro nickel, dan besi baja seperempat jadi. Luhut gembar-gembor, tapi hilirisasi belum terintegrasi dengan pengembangan industri domestik. Padahal, hampir seperempat cadangan bijih nikel dunia berada di bumi Indonesia.
"Hampir semua produk smelter nikel itu mereka ekspor ke negerinya sendiri. Mereka beroleh fasilitas bebas pajak (tax holiday 25 tahun), tax allowance, investment allowance, super deduction tax, dan bebas PPh Badan," ujar Ekonom Faisal Basri. Dengan fasilitas senikmat itu, investor Cina dapat membeli olahan nikel seperempat jadi ini dengan harga seperempat atau sepertiga harga internasional.
Selain berasal dari tambang sendiri, pengadaan bijih nikel mereka juga didukung oleh BUMN tambang yang telah menandatangani kontrak penjualan jutaan bijih nikel dengan mereka (pemilik smelter nikel).
Jika pabrik tetap di Cina, mereka beli dengan harga US$100/ton. Kalau pindah ke Indonesia bisa dapat US$25-35. Sesampainya di Cina, nikel seperempat jadi diolah lebih lanjut menjadi produk sendok, garpu, pisau, atau lembaran baja yang tahan karat dengan kualitas tinggi. Juga untuk kebutuhan sektor migas dan otomotif. Setelah dalam bentuk produk-produk tersebut, Indonesia kembali mengimpornya dari Cina.
Penguasa tampaknya tutup mata atau 'melindungi' praktik eksploitasi sumber daya alam oleh para perusak lingkungan. "Negara berpotensi merugi ratusan triliun rupiah. Tapi tak pernah terdengar suara dari Kementerian Keuangan dan Kementerian Tenaga Kerja," ujar Faisal.
Sejalan dengan itu, sudah ratusan ribu pekerja mereka masuk. Umumnya menggunakan visa kunjungan (visa turis), sehingga tak membayar pungutan US$100/bulan/pekerja. Upah mereka Rp15 juta-Rp50 juta. Mereka tenaga ahli? Kebanyakan cuma lulusan SLTA atau lebih rendah. Ada sopir forklift, sopir alat berat, satpam, tenaga statistik, tukang las, petugas asrama.
Indonesia dapat apa? Sekadar upah kuli dan biaya sewa lahan ala kadar. Istilah ekonominya, dapat keuntungan nilai tambah 10% dari industri bijih nikel di Morowali dan Konawe. Porsi 90%-nya justru jadi profit buat investor Cina.
Salam,
Irsyad Muchtar