Daulat
Usianya 12 tahun ketika RI diproklamirkan. Sepanjang 82 tahun usianya yang coloutful, dia mewariskan banyak kata bijak yang out of the box thinking. Dia entrepreneur, bermula sebagai penjaja telur. Bercelana pendek ke mana-mana, dengan baju branded yang lengannya digunting sekenanya.
Ia bertanya, sudahkah kita merdeka? Bukankah bangun tidur kita minum Aqua? (74% saham Danone/Perancis) atau Teh Sariwangi (100% saham Unilever Inggris). Minum susu SGM (milik Sari Husada, 82% saham Numico Belanda). Lalu mandi pakai sabun Lux dan Pepsodent (Unilever, Inggris). Sarapan? Berasnya impor dari Thailand, gulanya juga impor (Gulaku, Malaysia).
Keluar rumah naik motor/mobil buatan Jepang, Cina, India, Eropa. Sampai kantor nyalain AC buatan Jepang, Korea, Cina. Pakai komputer, hp (operator Indosat, XL, Telkomsel semuanya milik asing (Qatar, Singapura, Malaysia).
Mau belanja? Ke Carrefour, punya Prancis. Oke, ke Alfamart (75% saham Carrefour). Atau Giant? Ini punya Dairy Farm International, Malaysia, yang juga Hero. Malam-malam iseng ke Circle K dari Amerika. Ambil uang di ATM BCA, Danamon, BII, Bank Niaga, ah semuanya sudah milik asing walaupun namanya masih Indonesia. By the way, HP anda pun buatan ‘luar’.
Daftar di atas sangat bisa diperpanjang. Tapi esensi keseluruhannya tak berubah. Bahwa roh merdeka/kemerdekaan adalah daulat/kedaulatan. Sebuah kata yang kian gersang makna di kalangan pemegang mandat amanah publik. Hegemoni ekonomi dan pemilikan lahan tetap di tangan kalangan keturunan.
Ekonomi Indonesia yang 50% persen lebih dikuasai etnis Tionghoa. Ini mengherankan karena, kata Jusuf Kalla, jumlah mereka di sini hanya sekitar 4,5% (tak dihitung migrasi berkelanjutan dari Daratan tiap tengah malam sejak 2014). Di Malaysia, penduduk Tionghoanya menguasai 60% ekonomi tak heran karena mereka di sana sekitar 30%.
Tentulah mereka itu saudara kita (juga) sebagai anak bangsa; mereka bayar pajak dan pekerjakan orang. Mereka tidak salah, yang kurang kita. Tantangan terbesarnya ada di kita. Senada dengan Bob Sadino, JK juga menyebut, “(Kita mesti) tingkatkan entrepreneurship.” Bicara ihwal lahan sama parahnya. Amien Rais (2015) menyebut, 74% di Indonesia dikuasai 0,2% etnis Cina. Statemen Prabowo Subianto lebih ngeri. Bahwa 80% tanah dikuasai oleh 1% rakyat. Namun pernyataan Prabowo soal ini tenggelam oleh riuh debat 'Indonesia bubar tahun 2030'. Ketua Komnas HAM 2012-2017, Hafid Abbas, menyebut 35 juta ha tanah dikuasai beberapa orang saja. Kekayaan empat pengusaha hampir sama dengan kekayaan setengah penduduk Indonesia.
Kondisi ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia, ujar Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Alamsyah Saragih, masih parah. Problem agraria bukan hanya soal pengakuan hak atas tanah, tapi juga harus ada redistribusi untuk meratakan kepemilikan lahan yang timpang. Demikian kabar daulat negeri sampai dengan tahun ke-78 merdeka.
Salam,
Irsyad Muchtar