Keledai Cepat
Media asing saja prihatin. CNBC International, misalnya, menyoroti proyek puluhan triliun Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB). Di sana muncul artikel bertajuk Southeast Asia's first high-speed train-a boon or bust for Indonesia's economy? Pemerintah RI dan RRC acc dengan pembengkakan US$1,2 miliar (Rp18,02 triliun). Itu berarti, biaya total proyek yang start pada 2015 itu menjadi US$7,27 miliar.
Kereta api speed tinggi merupakan prioritas Presiden Indonesia. Jaringan relnya memiliki empat stasiun pemberhentian: Halim, Karawang, Padalarang, dan Tegalluar. “Namun, meningkatnya biaya proyek dapat meningkatkan utang pemerintah dan menutupi keuntungan ekonomi jangka pendek," ucap CNBC.
Jaringan teve CNBC, dari NBCUniversal, divisi Comcast, melihat beban utang menjadi persoalan. Pasalnya, jumlah biaya proyek meroket secara konsisten. Dipaparkan pula bagaimana KCJB itu sebagai bagian dari Belt and Road Initiative (BRI) Cina. Proyek infrastruktur itu didanai oleh konsorsium perusahaan negara Indonesia dan Cina yang dikenal sebagai PT KCI (Kereta Commuter Indonesia).
Proyek ini diharapkan rampung tahun 2019. Tapi terhambat karena berbagai penundaan operasional dan anggaran memuai sebesar US$1,2 miliar (Rp18,2 triliun). "PT KCI (Kereta Commuter Indonesia) sebelumnya telah terima pinjaman US$4,55 miliar (Rp69,3 triliun) dari Cina Development Bank. April lalu, Indonesia minta tambahan US$560 juta (Rp8,5 triliun)," tutur CNBC. Secara resmi utang Indonesia ‘cuma’ US$5 miliar tapi secara tak resmi US$23 miliar. Jelas sangat berisiko.
Maka, Jokowi setuju gunakan APBN untuk menanggulanginya. Menyelisihi sikap awal bahwa ini proyek B to B. Para ahli memperingatkan, langkah itu akan menggembungkan keuangan publik. Proyek ini mengingatkan pada kegagalan pembangunan Pelabuhan Hambantota di Sri Lanka dan proyek perluasan Bandara Internasional Entebbe di Uganda. Keduanya tipikal sebagai contoh diplomasi ‘jebakan utang Cina’.
Dilematis bak menghadapi buah simalakama, proyek ini tak bisa dihentikan. Maju kena mundur kena. Kecuali suksesi 2024 menghasilkan pergantian rezim, dan legislatif menjalankan tugas konstitusionalnya bukan lagi sebagai juru stempel yang mengkhianati aspirasi rakyat. Lalu, rezim baru mengambil langkah jantan negarawan seperti dilakukan PM Mahathir Mohamad: silakan gulung dan bawa pulang jalan tol kualitas rendah yang kalian bikin.
Satu hal serius, beban cost overrun yang hanya ditanggung Pemerintah Indonesia, menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, tidaklah adil. Hanya menguntungkan kreditor Cina. Bukankah pembengkakan biaya ini berakar dari kesalahan proses perencanaan dan studi kelayakan (feasibility study) kedua pihak? ”Waktu itu, proses perencanaan proyek overoptimistis dan kreditor menawarkan bunga murah. Tetapi, begitu dijalankan, biaya menggelembung. Apa iya semua tanggung jawab BUMN dan Pemerintah Indonesia? Ini tidak fair. Beban utang dari proyek ini niscaya bakal timbulkan efek berantai pada defisit APBN,” kata Bhima.
Salam,
Irsyad Muchtar