Ada banyak orang yang berkeinginan punya bisnis atau memiliki usaha sendiri. Namun niat itu akhirnya sering kandas dan hanya sebatas wacana. Padahal, sudah punya banyak gagasan, ide, dan terobosan yang ingin dilakukan bila berbinis. Artinya, secara konseptual dan hitung-hitungan di atas kertas sudah oke, tetapi ketika memulai selalu saja ada hambatan.
Begitulah faktanya dialami banyak orang, sehingga niat berbisnis atau memiliki bisnis sendiri tidak pernah terwujud. Namun hal itu tidak berlaku bagi orang-orang tertentu, di mana tekadnya memulai bisnis langsung diwujudkan. Jadilah pebisnis secara dadakan, tanpa banyak pikir panjang ehh… sudah punya bisnis sendiri. Tetapi secara umum, sebagian besar orang batal berbisnis karena berbagai kendala.
Misalnya, ada kendala permodalan, faktor keluarga, kendala pribadi, kendala waktu, lokasi, sumber daya manusia atau karyawan, lingkungan dan lain sebagainya. Kadang ada modal, ada sumber daya, tetapi tidak didukung keluarga. Bahkan kadang hampir semua komponen sudah terpenuhi, tetapi saat memulai timbul keraguan. Ada banyak faktor membuat seseorang tidak jadi berbisnis karena berbagai alasan masing-masing.
Maka benar juga pendapat yang mengatakan bahwa paling sulit dalam berbisnis adalah memulainya. Memulai sebuah bisnis memang tidak semudah yang dibayangkan. Dibutuhkan sebuah tekad kuat dan keberanian, bahkan harus punya sifat nekad. Ada banyak cara orang memulai bisnis, tetapi dari ribuan atau jutaan bahkan yang memulainya, sebagian besar berakhir dengan kerugian atau kebangkrutan.
Tentu saja, siapapun tidak ingin bisnisnya berakhir dengan menyedihkan alias bangkrut. Tapi dalam kenyataannya banyak yang bangkrut, menjadi miskin, memiliki utang segunung, sehingga terpaksa jual rumah, tanah atau aset lainnya. Tidak sedikit pula yang harus mendekam di penjara karena terlilit utang di bank dan lain sebagainya sebagai akibat bisnis yang gagal. Namun ketika sukses semuanya menjadi kenangan indah.
Dibalik kisah-kisah maraknya pengusaha yang bangkrut, banyak pula pebisnis yang sukses dan langsung melejit, terutama era kemajuan teknologi informasi sekarang. Gagal dalam bisnis itu soal biasa. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dari pengalaman mereka yang gagal berbisnis. Dan yang lebih terpenting lagi adalah belajar dari para pebisnis yang sukses, di mana sebelum mereka meraih kesuksesan mengalami berbagai masalah, bahkan gagal berkali-kali.
Di era sekarang, trend memulai sebuah bisnis wajib hukumnya melakukan riset atau kajian matang dan terukur. Data dan informasi tentang bisnis apapun saat ini semua tersedia dan mudah didapatkan dengan menggunakan teknologi, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mempelajari dulu sebelum benar-benar menggeluti sebuah bisnis. Dengan demikian, maka kerugian bisa dicegah atau dihindari. Siapa pun tidak menginginkan bisnisnya merugi.
Dalam Majalah Portonews Edisi Januari 2019, kami menurunkan laporan utama seputar bisnis waralaba yang diprediksi akan terus berkembang dan menjadi pilihan kaum mileneal. Berbisnis lewat cara franchise atau waralaba sangat simple dengan tingkat risiko yang relatif kecil karena umumnya sudah teruji. Bisnis ini berupa pemberian izin untuk pemakaian merek, produk serta sistem operasional dalam jangka waktu yang ditentukan sebelumnya. Singkatnya, waralaba adalah bisnis yang menggunakan prinsip kemitraan.
Bisnis waralaba di sini tidak semata waralaba asing, melainkan waralaba lokal yang dalam beberapa tahun terakhir juga sangat berkembang pesat. Setidaknya terdapat sekitar 555 merek waralaba yang potensial diwaralabakan di dalam negeri dan luar negeri, terutama bisnis kuliner, produk dan jasa lainnya. Peluang bisnis waralaba menjadi salah satu pilihan bagi pebisnis pemula agar terhindar dari kegagalan.
Melalui pengembangan bisnis waralaba juga diharapkan semakin banyak jumlah pengusaha atau entrepreneur di Indonesia. Peningkatan entrepreuner dalam sebuah negara sangat penting dalam rangka mempercepat peringkat Indonesia sebagai negara maju. Berdasarkan data, negara maju rata-rata memiliki sekitar 14 persen dari jumlah penduduknya sebagai entrepreneur. Sementara itu, Indonesia hanya memiliki 3,1 persen dari total jumlah penduduknya sebagai entrepreneur.