Pangan dan Buaian Impor
Kesuksesan pembangunan suatu bangsa atau negara itu sangat tergantung sekali pada kesuksesan negara tersebut mengembangkan dan menyiapkan sumber daya manusia yang sehat, cerdas dan berkualitas. Apalagi jika dilihat di Indonesia bahwa pangan yang ada di negara ini tidak buruk. Namun jika pembangunannya tidak sukses, tidak merata dan tidak berkualitas barulah masalah timbul,termasuk masalah pangan.
Tingkat kemiskinan di Indonesia masih sangat banyak berdasarkan laporan dari Bank Pembangunan Asia (ADB), jumlah penduduk nasional Indonesia pada tahun 2015 berjumlah 255,46 juta jiwa dan 11,2% yang hidup dibawah garis kemiskinan.
Garis kemiskinan Indonesia juga ditetapkan pada rata-rata pengeluaran Rp302.735 per bulan jadi sekitar Rp10.000 per hari untuk biaya makan. Dengan uang sebesar itu,entah bagaimana caranya bisa mendapatkan gizi yang baik kalau biaya untuk makan Rp10.000 saja rata-rata per orang. Ini berbeda ketika seseorang ingin bergizi,setidaknya biaya untuk beli pangan musti keluar uang di atas Rp10.000 sekali makan. Kasarnya,kenyang dengan beli nasi bungkus di rumah makan Padang,pakai ayam bakar ataupun goreng Rp15.000 per bungkus. Itupun nilai gizinya belum sebagus jika makan dengan harga di atas Rp 25.000 per sekali makan per orang.
Ya benar..Supaya dapat gizi yang bagus harus mengeluarkan banyak uang, Kenapa banyak ya? Iyalah, karena kalau mau dapat gizi yang bagus harus makannya pakai sayuran, ikan dan lain sebagainya. Empat sehat lima sempurna,jadi jargon gizi di masyarakat.Namun,sayangnya kebanyakan bahan baku pangan masih impor.
Menurut Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman tantangan terbesar yang dihadapi industri pangan di Indonesia adalah ketersediaan bahan baku. Saat ini kita masih banyak bergantung pada impor karena ketersediaannya di dalam negeri amat kurang. Terigu dan gula industri masih 100 persen impor. Susu 80 persen, garam 70 persen, kedelai 70 persen, dan buah-buahan sekitar 60 persen.
Untuk mengatasi masalah ketersediaan bahan baku, Adhi mengatakan perlunya koordinasi dari hulu ke hilir. Uniknya, meski sebagian besar bahan baku masih impor, industri makanan dan minuman nasional bisa menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Adhi mengatakan impor produk olahan hanya sekitar 7-8 persen. Sisanya adalah produk dalam negeri. Dia berharap pemerintah bisa membuat regulasi yang lebih baik agar industri makanan dan minuman nasional bisa bersaing di tingkat regional dan internasional.
Itu lah fakta tentang impor bahan pangan di negeri ini. Lebih jauh perlu diperhatikan adanya Peta Ketahanan dan kerentanan pangan (FSVA) tahun 2018. Tertulis terdapat 88 kabupaten/kota rentan rawan pangan di Indonesia. Dari 88 kab/kota tersebut terdapat 956 kecamatan yang dikategorikan rentan rawan pangan. Di satu sisi,bahan baku pangan masih tergantung impor. Di sisi lain, pangan di negeri ini masih mahal, jauh dari harapan. Kalau harga pangan mahal,masyarakat susah dapat gizi bagus. Ini pekerjaan rumah bagi Presiden Jokowi dan kabinetnya. ℗ Godang Sitompul