Dag Dig Dug Menanti Omnibus Law
Jantung para pekerja dan pengusaha di tahun 2020 ini berdetak kencang, keringat dingin mengalir deras walau cuaca dingin,hujan dan banjir. Apa sebab? Tak lain tak bukan, Omnibus Law. Khususnya Omnibus Ketenagakerjaan. Empat naskah Omnibus Law telah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional prioritas. Keempatnya adalah : RUU tentang Perubahan Atas UU No.36 tahun 2009 tentang Kesehatan/ RUU Tentang Sistem Kesehatan Nasional, RUU tentang Kefarmasian, RUU tentang Cipta Lapangan Kerja dan RUU tentang Ibu Kota Negara.
Omnibus Law dinilai bisa merubah proses hubungan kerja. Bahkan, dinilai upaya untuk meningkatkan pencapaian kesejahteraan pun, akan mengalami perubahan seiring diimplementasikannya Omnibus Law. Apa saja perubahannya? Berdasarkan catatan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) sistem pengupahan akan diberlakukan per jam. Bila itu diterapkan, sangat berbahaya sekali. Selain itu, Tenaga Kerja Asing (TKA) bisa masuk secara leluasa. Disamping itu dinilai terdapat penggunaan outsourcing secara masif dan nilai pesangon akan berkurang jumlahnya.
Pihak buruh tidak keberatan dengan upaya Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk mengundang investasi sebesarbesarnya sehingga pertumbuhan ekonomi bisa tumbuh dan meningkat. Walaupun demikian, pemerintah diminta untuk tidak mengabaikan aspek konsumsi. Sebab konsumsi itu sebangun dengan daya beli. Untuk mendongkrak daya beli itu salah satu instrumen terpentingnya adalah upah.
Logikanya, bagaimana mau meningkatkan daya beli bila nilai upah dikecilkan.Pesan kedua, yang disampaikan KSPI, adalah proses pembuatan Omnibus Law yang mencerminkan cara pengusaha yang tidak ingin melibatkan siapa pun. Dari semua pembahasan tentang Omnibus Law Ketenagakerjaan,sebenarnya yang perlu diperhatikan adalah jumlah pengangguran di Indonesia. Menyimak data Biro Pusat Statistik (BPS) hingga Agustus 2019,tercatat sebesar 7 juta orang. Sedang tambahan angkatan kerja baru sebanyak 2 jutaan orang. Karena itu yang perlu lapangan kerja setiap tahun sekitar 9 juta orang. Sedangkan angkatan kerja yang bekerja 126 juta orang.
Bila dilihat petanya 74,1 juta adalah sektor informal. Kecenderungannya sektor informal akan membesar. Sekarang sudah 57 persen sektor informal. Seiring perkembangan ekonomi digital, yang anak-anak milenial enggan bekerja di sektor formal. Sektor informal tidak masuk dalam struktur serikat pekerja atau perusahaanperusahaan formal. Pemerintah membantah bahwa Omnibus Law semangatnya semata-mata menarik investor asing dan kesannya ngasih karpet merah untuk asing.
Padahal tidak seperti itu. Omnibus Law sangat komprehensif Omnibus Law dipandang untuk menyeimbangkan 3 kepentingan, yaitu kepentingan pengusaha, kepentingan pekerja dan pihak yang belum bekerja. Pertanyaan sederhana,dan yang menjadi pekerjaan rumah (PR) para pembuat keputusan/kebijakan Omnibus Law, adalah siapa yang diuntungkan? Pengusaha atau Pekerja? Ibaratkan debat kusir, duluan mana telur atau ayam yang harus dijaga? Kita tunggu saja hasilnya. ℗ Godang Sitompul