MASYARAKAT INDONESIA dikenal sebagai masyarakat konsumtif. Walau barang-barang yang dimiliki masih berfungsi baik, ketika produk terbaru keluar, terdapat kecenderungan untuk membeli produk baru tersebut dengan dalih mengikuti perkembangan terbaru atau trend. Mereka yang memiliki kemampuan finansial memadai, seringkali membeli produk- produk terbaru tanpa mempertimbangkan fungsi dasarnya.
Parahnya, kecenderungan perilaku konsumtif ini juga terjadi pada orangorang yang kemampuan finansialnya kurang memadai, sehingga mereka sampai berhutang. Karakteristik tersebut menggambarkan dengan jelas bagaimana konsumtifnya masyarakat kita Pusat-pusat perbelanjaan, pasar tradisional maupun modern, menjadi sangat ramai mulai pertengahan bulan Ramadhan sampai menjelang Hari Raya Idul Fitri.
Terdapat kesamaan aktivitas masyarakat di tempat- tempat perbelanjaan tersebut, yaitu memenuhi kebutuhan Idul Fitri, baik pakaian, makanan maupun kebutuhan lainnya. Idul Fitri identik dengan pakaian baru. Bahkan ada istilah kalau tidak menggunakan pakaian baru, serasa bukan Idul Fitri. Benarkah pendapat tersebut? T entu s aja ti dak b enar. Entah darimana dimulainya tradisi Idul Fitri dengan pakaian baru. Yang jelas, perilaku Idul Fitri harus berpakaian baru merupakan salah satu perilaku konsumtif.
Karakteristik tersebut dengan mudah dimanfaatkan produsen untuk menawarkan beragam produk terbaru, dengan iming-iming diskon dan momentum hari besar keagamaan seperti Idul Fitri. Melalui iklan yang gencar, Idul Fitri diidentikkan dengan kepemilikan dan penggunaan produk serba baru, mulai dari kendaraan, perlengkapan rumah tangga, pakaian, hingga produk elektronik.
Masyarakat yang konsumtif tidak lagi berpikir panjang tentang harga karena beranggapan barang yang akan dibeli telah didiskon. Namun apakah masyarakat pernah berpikir bahwa produsen juga mencari keuntungan dari perilaku konsumtif masyarakat, misalnya saja dengan mempertimbangkan harga awal sebelum didiskon dan harga akhir setelah didiskon. Bagi mereka yang cermat berbelanja, tentu akan mempertimbangkan terlebih dahulu apakah harga awalnya termasuk wajar atau tidak.
Beberapa bukti menunjukkan bahwa harga barang sebelum didiskon telah dinaikkan terlebih dahulu sehingga harga akhirnya sama seperti harga normal. Kebutuhan untuk berlebaran dengan barang baru membuat masyarakat tidak cermat dan menjadi lebih konsumtif. Pola berpikir ini telah mewarnai sebagaian besar masyarakat Indonesia dan diturunkan dari generasi ke generasi sehingga terus terjaga hingga saat ini. Ditambah lagi pola perbandingan sosial masyarakat kita yang juga tergolong tinggi.
Saat tetangga membeli barang baru untuk berlebaran, maka itu menjadi stimulan untuk membeli barang baru. Saat mudik ke kampung halaman, seolah harus membawa kendaraan atau barang yang serba baru sebagai kebanggaan untuk keluarga. Hal tersebut biasanya dijadikan ukuran kesuksesan bekerja atau merantau di kota, sehingga membawa atau memakai barang baru saat mudik menjadi “wajib.”
Masyakarat juga kadang terlena dengan momen Idul Fitri. Mereka tidak menyadari bahwa ada beragam kebutuhan yang harus dipenuhi setelah lebaran usai. Apalagi beberapa tahun belakangan ini, Idul Fitri selalu bersamaan dengan tahun ajaran baru pendidikan. Oleh karena itu pengeluaran biaya untuk kebutuhan Idul Fitri dan pendidikan anak harus dianggarkan dengan cermat, mana yang lebih prioritas.
Tulisan ini dimaksudkan sebagai pengingat, khususnya untuk diri sendiri, bahwa Idul Fitri tidak identik dengan berbagai produk baru. Terpenting adalah bagaimana kita memenuhi kewajiban membayar zakat dan meningkatkan ibadah yang telah digembleng selama bulan ramadhan, serta menggunakan rejeki yang didapat sesuai kebutuhan. Hindari perilaku konsumtif demi prestise atau gengsi semata