Di Depan Bajaj Hijau: Kumpulan Cerpen
Ada angin segar berhembus membawa kabar suka-cita ke ranah literasi di Tanah Air kita tercinta. Kabar itu mewartakan ‘lahirnya’ seorang cerpenis perempuan, Dewi Parwati Setyorini yang dikenal dengan nama panggilannya: Rini. Perempuan alumni Fakultas Sastra Inggris Universitas Indonesia itu mengawali eksistensinya di ranah literasi dengan menerbitkan 10 judul cerita pendek (cerpen) yang diterbitkan oleh Pustaka Obor Jakarta.
Kesepuluh judul cerpen tersebut: (1) Bukan Jalan Pagi Biasa; (2) Aroma Meja Makan; (3) Bermain dalam Sunyi dan Gelap; (4) Langit dan Bumi di Sumba Barat; (5) Lubang Mata Nenek; (6) Suami Ideal; (7) Petualangan di Mikrolet dan Ojek; (8) Menerjang Ombak Selat Sunda; (9) Sekeras Mutiara dan (10) Di Depan Bajaj Hijau. Ditilik dari credit-title tanggal, bulan dan tahun penulisannya berproses hampir satu tahun. Tentu saja kurun waktu satu tahun bisa membuahkan karya 10 judul itu termasuk proses kreatif yang begitu cepat. Apalagi Rini mengaku sebagai ‘orang baru’ di ranah penulisan fiksi. Berkat ketekunannya yang dilandasi spirit mencipta legacy bagi anak-cucunya, maka baginya tidak ada kata ‘mampet’ alias mengalami writer’s block yang lazim jadi kendala bagi pengarang dalam berkarya. Bagi Rini Benn proses menulis dikondisikan terus berjalan mulus dengan prinsip I have my own room! – seperti yang dicetuskan Virginia Woolf, Sastrawati Inggris.
Proses menulis memang harus mempunyai a room yang tidak hanya berupa ‘ruangan’ (space) tapi juga a room yang berupa kepekaan menangkap tanda (peristiwa), rasa lambungan berimajinasi, rasa memetakan konflik hingga ruang untuk menciptakan tokoh imajiner yang bisa hidup bernyawa, bahkan memiliki ruh. Sehingga karya fiksi yang diciptakan oleh si pengarang terasa hidup membawa kisah atau dongeng dalam berbagai genre. Dalam hal ini, Rini mengusung cerpen genre realis untuk karya-karyanya, bahkan sangat realistis. Sehingga kala pembaca membaca cerpen karya Rini akan merasakan sedang membaca kisah nyata (true-story) yang tengah terjadi di depan matanya atau diajak bernostalgia. Bahkan pembaca bisa jadi merasa bernasib seperti kisah yang disajikan dalam cerpen-cerpen karya Rini. Di lain pihak sangat mungkin ada pembaca yang merasa sedang ‘memetik’ pelajaran hidup dari cerpen karya ibu yang berputri tunggal itu.
“Saya kurang bisa berimajinasi!” tutur Rini ketika sedang proses menulis cerpen, “Jadi, saya tulis apa yang saya lihat, lalu saya rangkai dengan kalimat dan sedikit saja bumbu imajinasi. Cerpen saya memang bersumber dari kisah nyata di sekitar saya, yang saya ketahui dan pahami, bukan buah imajinasi atau khayalan.” Tegasnya, lugas.
Lugas! Merupakan satu kata yang paling tepat untuk melukiskan karakter Rini sebagai pengarang dalam menyajikan karya cerpen-cerpennya. Lazimnya, kelugasan identik dengan kisah keras dan zakelijk yang membuat para pembaca merasa garing atau nggak asyik! Hal ini tidak berlaku bagi Rini. Kelugusannya justru menjadi daya pikatnya yang berbingkai magnet. Karena ia mengekspos ‘kelugasan’ karya-karyanya dari sisi kemanusiaan yang sangat menyentuh (human touching) bersumber dari ‘dunianya’ yang penuh dengan aneka kisah atau dongeng. Karena Rini merupakan seorang ‘perekam’ peristiwa yang apik, teliti, cerdas minda dan emosional serta teliti dalam mencatat setting (waktu dan tempat), pernak-pernik hingga reading people (membaca orang) dengan seksama. Maka tak heranlah apabila ia mampu melahirkan cerpen-cerpen yang tidak hanya membawa ‘pesan’ tapi juga hiburan.
Sebagai contoh, cerpen berjudul Di Depan Bajaj Hijau – menceritakan tentang nasib sebuah boneka beruang yang dibuang oleh pemiliknya karena kondisinya sudah butut. Kemudian boneka itu dipungut oleh seorang pemulung. Cerpen ini sungguh menguras airmata, menceritakan rona kasih sayang kaum marginal dengan segala keterbatasan materi tapi melimpah ketulusan tanpa pamrih. Dalam cerpen Suami Ideal, pembaca akan terbahak-bahak membaca rumpian para ibu manager mengupas laki-laki yang layak disebut suami ideal itu seperti apa? Kata mereka, jangan yang sudah ‘turun mesin’ – hem, membuat Mr. Park dari Korea menggeleng-geleng. Sangat mungkin pembaca akan terharu dan berlinang airmatanya ketika membaca kisah mantan diplomat perempuan yang bebas dari power syndrome sehingga rela naik mikrolet dan ojek di masa pensiunnya demi menengok anak-cucu. Ia tidak mengeluh harus menerabas kemacetan ibukota di teriknya matahari. Padahal kala menjabat sebagai diplomat ia biasa mengendarai mobil-mobil mewah berplat CD. Kisah ini bisa ditemukan dalam cerpen berjudul Petualangan di Mikrolet dan Ojek. Ketujuh cerpen lainnya tak kalah menarik dengan yang telah penulis paparkan. Selamat membaca!
Ikhtisar Lengkap
Penulis:
Dewi Parwati Setyorini
Penerbit: Pustaka Obor Indonesia
ISBN: 9786236421154
Terbit: Desember 2021
, 141 Halaman