Saya berkesempatan bermalam di sebuah rumah singgah milik warga Ubud. Suasana kediaman tradisi Bali itu tampak asri dan terawat sehingga membuat sanubari saya merasa tenteram. Pembagian ruangnya masih mengikuti fungsi-fungsi dalam kebudayaan agraris. Kamar yang saya tempati tak jauh dari lumbung padi.
Si pemilik mengajak saya berkeliling rumah. Di sebuah paviliun saya menyaksikan sebuah ruang lengkap dengan meja dan tempat duduk. Lebih pantas apabila kita menyebutnya sebagai ruang keluarga. Namun, si pemilik dan keluarganya jarang berkumpul di ruangan itu. Mereka lebih menyukai bercengkerama bersama keluarga di bale, ruangan terbuka berlantai kayu.
Tradisi budaya kita memang tidak menghadirkan batasan kaku tentang ruang keluarga. Setiap keluarga memiliki tradisi berkumpul yang unik terkait lingkungan, nilai atau gaya hidup penghuninya. Ruang berkumpul pun memiliki beragam gaya sesuai ekspresi keluarga.
“Ruang keluarga ini mematahkan anggapan bahwa furnitur ruang keluarga haruslah satu gaya,” ungkap Tiya Septiawati, awak redaksi RUMAH. Sebuah ruang tempat bercengkerama bersama keluarga tak selalu identik dengan seperangkat sofa dan meja. Namun, ruang keluarga memiliki fungsi yang boleh jadi identik menghangatkan jiwa penghuninya.
Pada edisi ini kami menyajikan sepuluh kiat inspiratif yang memandu Anda dalam menata, memilih furnitur, hingga memberi warna. Yakinlah, rona ekspresi Anda akan menghidupkan jiwa ruang keluarga. Terima kasih telah membaca RUMAH.