Ikhtisar
Pada tahun 1749, Jean Jacques Rousseau memenangkan kontes penulisan esai yang diselenggarakan oleh Academy of Dijon mengenai masalah Apakah kemajuan ilmu dan seni telah menyumbang pada perbaikan (improvement) atau justru perusakan (corruption) perilaku manusia? Jawaban Rousseau telak: (perusakan!). Akan tetapi, Rousseau tidak mendasarkan pendapatnya tersebut pada pikiran teologi, melainkan memahaminya dari sudut pandang antropologi, yaitu mengenai kenaturalan hidup manusia (Robert B. Pippin, Daedalus, musim panas, 2009, terutama soal konsep normativitas). Artinya, bagi Rousseau, ilmu telah menghalangi relasi natural manusia dengan alam dan karena halangan itu pengetahuan manusia memburuk.
Pendahuluan / Prolog
PENDAHULUAN
Pada tahun 1749, Jean Jacques Rousseau memenangkan kontes penulisan esai yang diselenggarakan oleh Academy of Dijon mengenai masalah “Apakah kemajuan ilmu dan seni telah menyumbang pada perbaikan (improvement) atau justru perusakan (corruption) perilaku manusia?” Jawaban Rousseau telak: “perusakan!”. Akan tetapi, Rousseau tidak mendasarkan pendapatnya tersebut pada pikiran teologi, melainkan memahaminya dari sudut pandang antropologi, yaitu mengenai kenaturalan hidup manusia (Robert B. Pippin, Daedalus, musim panas, 2009, terutama soal konsep normativitas). Artinya, bagi Rousseau, ilmu telah menghalangi relasi natural manusia dengan alam dan karena halangan itu pengetahuan manusia memburuk.
Romantisisme Rousseau tersebut memperlihatkan suatu cara analisis kebudayaan, yaitu bahwa evaluasi kemanusiaan hendaknya dilakukan berdasarkan rasio kontemporer dan bukan melalui fasilitas doktrin-doktrin teologi. Rousseau memang mendasarkan evaluasi kemanusiaan tersebut pada suatu “normativitas”, tetapi bukan pada normativitas metafisis, melainkan pada normativitas sosiologis. Ia berpendapat bahwa ilmu telah melemahkan kemampuan manusia untuk hidup harmonis dengan alam dan karenanya,kemampuan etik manusia makin merosot. Rousseau mendasarkan analisisnya pada suatu konsep kebudayaan yang sekuler. Artinya, otonomi manusialah yang seharusnya menjadi ukuran penghargaan kebudayaan, dan bukan citacita teologisnya.
Jawaban Rousseau ini tentu agak menjengkelkan golongan agama karena antipatinya pada ilmu tidak berlanjut menjadi pemihakannya terhadap teologi.
Padahal, suasana kebatinan pada masa itu dikuasai oleh pikiran-pikiran teologi yang masih berupaya menghalangi kemajuan ilmu karena dianggap dapat berujung pada penihilan peran agama.
Jadi, nampaknya kalangan agama hanya dipuaskan separuh oleh jawaban Rousseau, yaitu bahwa ilmu telah merongrong kemanusiaan, tetapi kemanusiaan itu sendiri tidak ia terangkan dalam konsep-konsep teologi.
Penulis
Eko Wijayanto - Eko Wijayanto, M.Hum.
Lahir di Karanganyar, Surakarta pada tanggal 10 September 1973. Beliau meraih gelar sarjananya untuk Fakultas Hukum di Universitas Indonesia pada tahun 2000. Kemudian, beliau meraih gelar masternya untuk Jurusan Filsafat pada Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Indonesia pada tahun 2004. Saat ini, beliau sedang menempuh gelar Doktornya dengan tema disertasi “Evolusi Kebudayaan Menurut Richard Dawkins.”
Pengalaman mengajar beliau dimulai pada tahun 2004 sebagai Dosen Filsafat di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya dan juga sebagai Dosen Filsafat Sosial di Fakultas Ilmu Sosial dan Pemerintahan di Universitas Indonesia hingga sekarang. Selain mengajar, beliau pun turut menghasilkan karya-karya tulis, di antaranya “Narasi al Qur’an tentang Figur Yesus” pada tanggal 3 Desember 2001, “Aspek Filosofis dan Teologis di Balik Film The Matrix” pada tanggal 18 Januari 2004, “Membangun Rekonsiliasi Sejati” pada tanggal 24 Juni 2004, dan “Belajar dari Kerusuhan Prancis” pada tahun 2008 yang dipublikasikan pada harian Kompas. Karya-karyanya pun telah dipublikasikan di beberapa media cetak lainnya, seperti Republika, Harian Pelita, dan Tabloid Muda.
Daftar Isi
Sampul depan
Tentang Penulis
Kata Sambutan
Kata Pengantar Editor
Prakata
Daftar Isi
Bagian 1: Darwin dan Teorinya
1. Skeptisisme Darwin
2. Masa Muda Darwindan Era Victoria
3. Orang-orang Barbar dan Primitif
4. Kejayaan Darwin
Kenaikan Status Sosial
Mengagumi Lyell
5. Tertundanya Teori Darwin
Permasalahan Wallace
Analisis Setelah Kejadian
Pernikahan Darwin dan Reproduksi dalam Pernikahan
Prospek Darwin
Memilih Menikah
Memilih Emma
Emma Berkata “Ya”
Darwin Mendapatkan Gairah
Setelah Bulan Madu
Bagian 2: Perspektif Darwinian
7. Kekerabatan dalam Perspektif Darwin
Pengaruh Gen dalam Kekerabatan
Matematika Baru
Batasan Cinta Kasih
Mom Always Like You Best
Pola Kesedihan
Kesedihan Darwin
8. Altruisme
Game Theory dan Altruisme Resiprokal
Non-zero-sumness
Bagaimana Tit for Tat Bekerja
Tetapi, Apakah Ini Ilmiah?
Makna Altruisme Resiprokal
9. Seleksi Seksual dan
Logika Seleksi Kelompok
10. Sosiobiologi: Determinisme dan Moral
11. Hati Nurani Darwin
Hati Nurani Victoria
Menilai Victoria
12. Pasar Perkawinan
Pemenang dan Pecundang
Apa yang Salah dengan Poligami?
Darwinisme dan Moral Ideal
Mengejar Moral Ideal
13. Status Sosial
Teori Modern dan Hierarki
Status, Penghargaan Diri, dan Biokimiawi
Pria, Perempuan, dan Status
Politik Simpanse
14. Penipuan dan Menipu Diri sebagai Dasar Sosial
Meninggalkan Kesan Baik
Self Deflation
Kuat Tapi Sensitif
Dubious Accounting
Persahabatan dan Ketidakjujuran Kolektif
Kepentingan Kelompok
15. Sinisme Darwin dan Peranannya bagi Ilmu Pengetahuan
Pegangan Darwin
Pemikiran Terbaik Freud
Darwin sebagai Tonggak Pemikiran Modern dan Postmodern
Darwinisme dan Kehidupan Ilmu Pengetahuan
16. Darwinisme Universal
Daftar Pustaka
Sumber Gambar
Indeks
Sampul belakang