Sejak berabad-abad lalu, manusia menganggap lautan sebagai sumber makanan yang tak terbatas. Tapi bagi kita para penyelam, laut tentu bermakna lebih dari sekedar tempat mencari nafkah. Kita juga melihat dunia bawah air sebagai “tempat suci” di mana berbagai jenis mahluk menjalani hidupnya dalam harmoni alam yang indah.
Sayangnya, beberapa dekade belakangan permintaan akan seafood semakin meroket. Ikan-ikan di lautan kian dieksploitasi. Dalam 40 tahun terakhir, populasi 40 persen spesies laut terus mengalami penurunan. Sekitar 60 persen dari persediaan ikan dunia juga diperkirakan telah habis.
Merespon fenomena tersebut, para ilmuwan, penggiat konservasi dan pemerintah di berbagai negara telah mengadakan dialog berkelanjutan dengan komunitas nelayan, mencari cara terbaik untuk melindungi ekosistem bawah laut kita. Marine Protected Area atau Kawasan Konservasi Laut juga terus bermunculan di berbagai belahan dunia. Tapi itu semua belum cukup. Nyatanya masih ada sekitar 93 persen kawasan laut dunia yang belum terlindungi dan rawan dieksploitasi.
Di Indonesia sendiri, ancaman eksploitasi itu bukan hanya datang dari praktik penangkapan ikan, tapi juga dari pariwisata. Hasil studi J. R. Pahlano Daud memperlihatkan bagaimana koral di Bunaken menghadapi ancaman degradasi, salah satunya karena jumlah wisatawan yang melonjak (hlm. 66). Jamaluddin Jompa juga memaparkan bagaimana “penyelam awam dengan kamera” berpotensi mengganggu ekosistem bawah laut (hlm. 72).
Dengan begitu, di edisi ini kami ingin kembali menyebarkan pesan tentang pentingnya menjaga kelestarian laut. Karena dengan menjaga kehidupan penghuni laut, kita juga sedang menjaga ketahanan hidup manusia di masa depan.