Organisasi Tani dan Petani
Dua kepengurusan kembar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) yang sudah berjalan sekitar 10 tahun, akhirnya bisa menyatu kembali. Dua pimpinannya yakni, Moeldoko dan Fadli Zon menghadap Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL), Rabu (17/6) menyampaikan kabar penyatuan mereka.
Kepala Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko, mengatakan dirinya bersama Fadli Zon sepakat bahwa HKTI untuk bersatu-padu membangun pertanian Indonesia yang semakin kokoh, dan memikirkan petani Indonesia.
Petani Indonesia memerlukan kehadiran organisasi petani yang hadir di tengah-tengah mereka, untuk merasakan kondisi mereka di lapangan dan memperjuangkan nasib mereka di kancah nasional dan tingkat daerahnya.
Ada banyak organisasi tani yang bermunculan di lapangan. Di antara mereka yang memiliki sejarah besar adalah Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) dan Kelompok Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA).
Keberadaan organisasi tani tersebut seperti kehilangan pengaruhnya sejak Era Reformasi terjadi di Indonesia pada tahun 1998. Pada saat itu, bermunculan banyak partai politik. Dari semula tiga partai politik, pada era reformasi berubah menjadi 50 partai politik lebih.
Semua partai politik tersebut berebut pengaruh untuk mendapatkan masa. Termasuk mereka juga memperebutkan dan mempengaruhi organisasi tani yang sudah punya nama besar, khususnya HKTI dan KTNA. Dilema pun menghadang organisasi tani. HKTI dan KTNA menjadi seksi dan diperebutkan partai politik. Tidak menjadi soal bila mereka, para aktivis organisasi tani itu berpolitik. Karena dengan berpolitik itu, maka mereka akan bisa memperjuangkan nasib petani di kancah politik nasional dan daerah. Sisi ini adalah sisi positif.
Dilemanya, atau sisi negatifnya, adalah ketika tokoh tani itu kalah atau yang didukungnya kalah, maka organisasi tani itu seperti mandul atau kehilangan ‘taji’nya. Inilah sisi negatifnya. Dilema ini sangat dirasakan adanya di organsasi tani seperti HKTI dan KTNA.
Boleh jadi dilema itu adalah sebuah resiko. Resiko yang bisa diambil oleh pengurusnya. Bila menang, organisasi itu akan Berjaya. Namun bila kalah, organisasi taninya akan jadi kurban atau juga bisa menjadi lebih mandiri. Organisasi Tani yang kalah berpolitik, harus mengorganisasi anggota dan sumberdaya yang dimiliki untuk bisa mandiri, bangkit dengan keswadayaan untuk memperjuangkan petani dan pertanian Indonesia.
Namun bisa jadi, organisasi tani malah memilih jalan aman dengan menyatakan bahwa organisasinya tidak kemana-mana tapi ada di mana-mana. Pilihan ‘jalur aman’ ini justru bisa membuat tidak punya tantangan. Tidak punya tantangan untuk mandiri dan tumbuh menjadi organisasi yang punya keswadayaan di atas kakinya sendiri.
Kita berharap organisasi tani yang ada mampu berdiri di atas keswadayaan kakinya sendiri. Tidak menjadi soal mereka berpolitik. Tidak menjadi masalah mereka kalah atau menang dalam berpolitik. Yang terpenting adalah mereka Bersatu memperjuangkan nasib petani dan pertanian Indonesia, agar maju, modern, mandiri dan mensejahterakan anggotanya.