Pertanian Tanpa Limbah: Membuat Petani Padi Tersenyum
Badan Pusat Statistik (BPS) secara berkala merilis data Nilai Tukar Petani (NTP). Pada bulan Juni 2020, NTP naik menjadi sebesar 99,60 persen atau naik 0,13 persen dibanding NTP bulan sebelumnya. Kenaikan ini disebabkan karena Indeks Harga yang Diterima Petani (It) naik sebesar 0,23 persen. Artinya, angka yang ada nilainya jauh lebih tinggi dari kenaikan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) yakni sebesar 0,11 persen.
BPS menjelaskan lebih lanjut ada faktor lain yang menyebabkan angka NTP naik, yakni perubahan Indeks Konsumsi Rumah Tangga (IKRT) yang mencapai 0,08 persen. Kenaikan juga diikuti oleh naiknya sembilan dari sebelas kelompok pembentuk indeks konsumsi rumah tangga.
Nilai Tukar Usaha Rumah Tangga Pertanian (NTUP) nasional pada Juni 2020 juga naik sebesar 100,25 atau 0,08 persen dibanding NTUP bulan sebelumnya,” ujar Suhariyanto, Rabu, 1 Juli 2020. Pada saat yang sama, BPS juga mencatat perkembangan harga gabah dan beras di penggilingan selama bulan Juni 2020. Dari 1.732 transaksi penjualan gabah di 26 provinsi, nilai gabah kering panen (GKP) mencapai 58,60 persen, kemudian gabah kering giling (GKG) 24,48 persen, dan gabah luar kualitas 16,92 persen.
Rata-rata harga GKG di tingkat petani mencapai Rp 5.845 perkilogram atau naik sebesar 4,61 persen. Sedangkan di tingkat penggilingan harganya Rp 5.958 perkilogram atau naik 4,39 persen. Sementara untuk harga gabah luar kualitas di tingkat petani mencapai Rp 4.374 perkilogram atau naik 4,28 persen.
Kenaikan harga gabah di tingkat petani menjadi faktor yang amat penting dalam membentuk NTP dan semangat petani menanam padi. Pada Era Pemerintahan Orde Baru, untuk mendorong gairah petani untuk terus menanam padi, pemerintah selalu mengumumkan kenaikan harga gabah sebelum musim tanam tiba.
Dalam era teknologi yang terus berkembang di tengah keterbatasan lahan pertanian yang subur, pemerintah perlu terus mengupayakan agar kesejahteraan petani padi terus dilakukan. Menaikkan harga gabah memang bukan pilihan ideal. Karena bila harga gabah terus meningkat, maka akan bisa mendorong terjadinya inflasi. Selain itu, petani produsen pada saat yang sama adalah juga konsumen beras.
Karena itu, pemerintah perlu mendorong upaya lain untuk meningkatkan pendapatan petani padi. Misalnya mendorong upaya integrasi tanaman seperti palawija, buah, sayuran bahkan ternak di lokasi persawahan atau rumah dan pekarangan para petani padi.
Upaya yang lain yang juga bisa dilakukan pemerintah adalah dengan mengembangkan hilirisasi industri pengolahan padi. Misalnya memanfaatkan sekam untuk pembuatan silika yang bisa digunakan untuk meningkatkan kualitas pupuk an organik. Jerami padi bisa dimanfaatkan untuk pembuatan kompos.
Dengan istilah lain, petani padi perlu didorong agar menanam padi, memanen silika. Menanam padi, memanen kompos. Menanam padi, memanen arang sekam aktif. Menanam padi, memanen telur. Menanam padi memanen sapi dan lainnya. Dengan pertanian model ini, atau yang dikenal dengan nama pertanian zero waste dan hilirisasi dengan asupan bioteknologi perlu dikembangkan pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian.
Konsep pertanian padi zero waste dengan bio-teknya perlu terus dimatangkan Kementan pada tingkat lapangan yang bisa dilakukan oleh para petani padi dan menguntungkan mereka. Bila paket teknologi ini sudah bisa dihasilkan, maka pemerintah bisa mengembangkan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) untuk replikasi di tempat-tempat lain. Penyuluh Pertanian harus bisa menjadi penggerak P4S dan mereplikasinya ke seluruh pelosok sentra produksi padi.