Waspada Pangan
Tantangan terbesar bagi ketahanan pangan di Indonesia, yang memerlukan kerja besar dan perhatian sangat serius, adalah perubahan iklim dan perkembangan penduduk. FAO mengindikasikan pertanian Indonesia termasuk yang paling rentan terdampak perubahan iklim. Jika perubahan iklim tidak ditanggulangi, di pulau Jawa diprediksi akan terjadi penurunan produksi pangan sebesar 5% pada tahun 2025 dan penurunan 10% pada tahun 2050.
Itu kalau tidak ada upaya khusus untuk menanggulanginya. Sejatinya kita tidak akan tinggal diam. Sektor pertanian sendiri merupakan bagian dari penyebab perubahan iklim karena melepaskan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfer dalam jumlah cukup signifikan, berupa CO2, CH4, dan N2O akibat proses pembusukan oleh mikroba, pembakaran sisa tanaman, dekomposisi bahan organik, proses fermentasi pencernaan ruminansia, kotoron ternak, dan lahan sawah.
Perubahan iklim yang sedang berlangsung itu berdampak multi dimensi, berupa perubahan tata air, suhu, presipitasi, berbagai bencana banjir dan longsor, menurunnya produktivitas, dan perubahan pola serangan hama. Suhu tinggi akan berpengaruh pada kemampuan pekerja di sektor pertanian di alam terbuka.
Tantangan ketahanan pangan tidak hanya perubahan iklim, tapi faktor lainnya seperti urbanisasi, peningkatan populasi penduduk, berkurangnya lahan pertanian serta belum efektifnya upaya pemberdayaan petani.
Pada tahun 2050 akan terjadi lonjakan jumlah penduduk sehingga kebutuhan akan pangan meningkat dalam jumlah besar. Menghadapi dua tantangan besar ini, kebijakan di bidang pertanian harus mampu meminimalisir dampak perubahan iklim ini secepatnya, selain dengan mempromosikan pertanian, pengendalian hama dan penggunaan teknologi ramah lingkungan, juga informasi tentang perubahan iklim dan dampak serta penanggulangannya.
Indonesia telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement To The United Nations Framework Convention On Climate Change. Selain itu, pemerintah juga menetapkan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan dukungan internasional hingga 2030. Singkatnya, ketahanan pangan masih merupakan pekerjaan panjang ke depan karena permintaan terhadap pangan akan terus meningkat, sementara issue stunting, kemiskinan dan kesehatan masih mengancam.
Semua ini merupakan peringatan bahwa konten dan metoda penyuluhan, serta fokus pembangunan pertanian memerlukan pengkayaan dan pendekatan baru menyentuh aspek perubahan iklim. Masyarakat, termasuk petani harus paham dan menerapkan pengetahuannya tentang early warning system, mengurangi dampak, menangani bencana, menerapkan teknologi ramah lingkungan, manajemen resiko, sadar melakukan konservasi dan beradaptasi terhadap perubahan. Itulah makna New Normal. Kita perlu segera mengantisipasi issue penting ini sebelum kedodoran dan ketinggalan.
Dalam skala global, Presiden telah menggaungkan pentingnya semua negara memenuhi kontribusi nasional bagi penanganan perubahan iklim, menggerakkan seluruh potensi masyarakat, memperkuat kemitraan global dan mengajak seluruh negara untuk terus melanjutkan pembangunan hijau guna menjadikan dunia yang lebih baik. Siap? Tentu harus siap!