Tidak Mudah Mengurus Pangan
Semakin terbukti bahwa menangani masalah pangan sebuah bangsa tidak cukup asal punya uang, toh bisa membeli. Ternyata tidak mudah. Urusan pangan itu menyangkut kepentingan bangsa, menyangkut kebutuhan harian berjuta-juta manusia. Dampak kekurangan pangan itu sensitif, bahkan bisa menjatuhkan kredibilitas sebuah negara.
Kasus kepanikan akan kelangkaan gandum dan minyak nabati telah ditunjukan oleh konsumen di Eropa di medsos dan berbagai media. Mereka yang semula tidak pernah mengalami kekurangan pangan sekarang panik.
Bagi negara kita yang besar, menjaga ketersediaan pangan, jangan sekalikali melupakan pertanian. Pertanian di negeri sendiri terlalu penting untuk dikesampingkan dengan dalih apa pun. Mengapa tidak mudah mengurus pangan? Bagi Indonesia tantangan klasik masih melekat. Manusia yang memerlukan bahan pangan itu lebih dari 270 juta orang dan jumlahnya terus meningkat.
Kondisi ekonominya beragam dan lokasinya tersebar di ribuan pulau. Usaha tani berskala kecil, sebagian besar lemah ekonominya, lemah permodalannya dan lemah pemasarannya. Produksi itu sifatnya musiman, bukan seperti pabrik, dan sangat sensitif. Hama dan penyakitnya banyak, hampir tidak pernah berhenti. Selalu datang silih berganti.
Menurut Bank Dunia, harga pangan Indonesia terbilang paling mahal di kawasan Asia. Tetapi harga di tingkat petani rendah, bahkan petani sebagian besar masuk dalam kelompok berpendapatan paling rendah. Senjang harga antara produsen dan konsumen terpaut jauh. Sistem pemasaran, infrastruktur, distribusi, manajemen stok dan semua yang terkait dengan pemasaran masih jadi kendala.
Masa depan pertanian dihantui oleh climate change dan global warming, oleh karena itu diperlukan inovasi di bidang pertanian, pelakupelaku muda yang smart dengan pola pikir baru tentang berusahatani yang moderen dan efisien.
Kebijakan ke depan diarahkan pada upaya menjamin ketersediaan pangan bagi pemenuhan kebutuhan pangan secara optimal, meningkatkan keterjangkauan pangan bagi seluruh masyarakat melalui stabilisasi pasokan dan harga pangan, termasuk di daerah rentan rawan pangan dan gizi; dan meningkatkan pemanfaatan pangan yang berkualitas dan aman.
Indonesia menempati peringkat rendah di dunia dalam hal konsumsi sayur dan buah per kapita. Data Susenas mengindikasikan bahwa pola makan rendah gizi yang relatif tidak terdiversifi kasi tidak selalu terkait dengan pendapatan, tetapi juga pola makan dan selera.
Solusi peningkatan kualitas gizi masyarakat tidak cukup dengan mengharapkan terjadi seiring dengan meningkatnya produksi pangan dan pendapatan konsumen, tetapi juga diperlukan pendidikan dan pengetahuan masyarakat tentang gizi. Para pemikir dan pembuat kebijakan tentang pertanian dan pangan tidak hanya berpikir teknologi dan aspek teknis, tetapi juga aspek sosial dan psikologi massa.
Pekerjaan institusi yang mengurusi pertanian dan pangan di negeri ini memang luar biasa. Pekerjaan besar ini tantangannya banyak, dan kita tahu menanganinya tidak mudah. Kita beri apresiasi dan acungi jempol atas kerja kerasnya..