Penghargaan IRRI
Penghargaan IRRI kepada Pemerintah Republik Indonesia atas keberhasilan meningkatkan produksi beras sehingga tidak perlu mengimpor beras selama tiga tahun berturut-turut perlu disyukuri. Penghargaan adalah pengakuan atas sebuah prestasi, dan jika diberikan oleh institusi terhormat semacam IRRI tentulah sangat bermakna.
Ini bukan gelar yang bisa dibeli dari institusi abal-abal, tetapi lewat usaha keras para petani yang berlepotan lumpur dan keringatan. Tepat sekali kalau Presiden berterima kasih kepada petani selain kepada Menteri Pertanian.
Penghargaan serupa pernah diperoleh dari FAO pada tahun 1984 ketika mencapai swa sembada beras dan pada tahun 2015 karena Indonesia dinilai berhasil mencapai target pertama Millenium Development Goals (MDGs) dalam mengurangi kelaparan, mengentaskan kemiskinan dan mengatasi kekurangan gizi.
Bagi Indonesia ini upaya yang tidak mudah. Kendala utamanya adalah ketersediaan lahan yang semakin terbatas, karena harus bersaing dengan tanaman lain dan kebutuhan lahan untuk industri, perumahan serta fasilitas sosial. Selain itu kualitas lahan semakin terdegradasi akibat berbagai alasan. Jadi gerakan untuk meningkatkan kualitas lahan dan penggunaan teknologi ramah lingkungan sangat diprioritaskan.
Ternyata kondisi pangan global sangatlah rentan. Terjadinya perang Ukraina dengan Rusia saja telah mengakibatkan semua akses pengiriman bahan pangan terkendala. Produksi pangan di kedua negara itu menumpuk tidak bisa diekspor. Dunia mengerang dan harga berbagai komoditi termasuk pupuk, minyak makan dan gandum meningkat drastis. Negara-negara yang tergantung pada pasokan pasar dunia kelabakan.
Indonesia memang berbasis agraris dan pertanian tetap eksis mengamankan pangan dengan didukung perbaikan infrastruktur pertanian yang masif dan dukungan berbagai program pertanian, walaupun belum sepenuhnya mampu meningkatkan kesejahteraan petani seperti yang diharapkan. Penghargaan bukan sasaran, karena sasaran utamanya adalah peningkatan produksi yang sekaligus meningkatkan kesejahteraan petani.
Pada saat yang sama, statistik menunjukkan terjadinya penurunan konsumsi beras perkapita yang cukup drastis. Penganekaragaman merupakan strategi penting yang terus dipacu. Selain untuk menigkatkan konsumsi masyarakat agar beragam-bergizi-seimbang-aman, juga untuk mengurangi tekanan terhadap produksi beras yang semakin banyak kendalanya. Promosi terus dilakukan, sementara produksi pangan lokal non beras terkendala lahan, penggunaannya juga harus berebut dengan kebutuhan industri dan pakan.
Produksi beras pada 2021 untuk konsumsi pangan penduduk mencapai 31,3 juta ton, mengalami penurunan sebanyak 140,73 ribu ton atau 0,45 persen. Jagung, kedelai dan gandum untuk industri pangan masih didominasi impor. Produksi jagung, ubikayu dan sagu meningkat sementara kedelai, kentang menurun.
Impor gandum terus meningkat dari 6,2 juta ton pada tahun 2012 menjadi 10,3 juta ton pada tahun 2020. Ini semua menunjukkan upaya negeri ini untuk memenuhi kebutuhan pangan sendiri memerlukan upaya kreatif yang terus menerus. Penghargaan itu sesuatu yang perlu disyukuri, berdampingan dengan upaya keras untuk terus meningkatkan produksi yang menyejahterakan petani. Untuk mencapai Merdeka Pangan. Merdeka!