Tanah Sakit, Dunia Ikut Sakit
Kehilangan nutrisi tanah merupakan proses degradasi kualitas tanah yang mengancam upaya mewujudkan keamanan dan keberlanjutan pangan di dunia. Hari Tanah Sedunia (World Soil Day) pada tanggal 5 Desember 2022 dengan tema “Soil: Where food begins” bertujuan untuk mengingatkan kita akan pentingnya mempertahankan ekosistem yang sehat, meningkatkan kepedulian dan memacu masyarakat memperbaiki kesehatan tanah.
Aktivitas manusia, penggunaan dan ekspansi lahan pertanian merupakan penyebab utama percepatan degradasi tanah, kehilangan nutrisi dan karbon tanah, dan menurunnya produktivitas tanah, yang pada gilirannya menurunkan kondisi sosial ekonomi di seluruh dunia.
Sistem pangan global telah mengakibatkan 80% deforestasi dan 70% penggunaan air tawar. Terjadi penggerusan lapisan tersubur akibat manajemen penggunaan tanah yang ceroboh.
Menurut UN 40% tanah di dunia sudah terdegradasi, sedangkan di Indonesia, menurut Guru Besar IPB University, Iswandi Anas Chaniago, sekitar 72% tanah pertaniannya dianggap sedang “sakit”, dalam artian kekurangan bahan organik. Kondisi “sakit” itu diakibatkan antara lain oleh penggunaan pupuk kimia yang masih sangat tinggi.
Pada periode 1930-1950, Pulau Jawa masih didominasi oleh kadar bahan organik tanah yang masih sangat tinggi. Pada era 1960-an, tanah di Indonesia kondisinya masih baik, sehingga dengan tambahan pupuk kimia pertumbuhan tanaman melompat dua kali lipat. Sesudah itu kondisinya terus menurun dan bahkan di beberapa wilayah sudah dalam kondisi kritis.
Tanah yang sakit, minim mikroorganisme baik. Penambahan bahan organik berguna untuk memperbaiki struktur tanah dan menyediakan makanan bagi mikroorganisme. Pupuk hayati merupakan salah satu alternatif untuk memperbaiki kerusakan biologis pada tanah. Karena pupuk ini banyak mengandung mikroorganisme yang berguna bagi tanaman dan tanah. Mikroorganisme tanah bertindak sebagai pengikat nitrogen dari udara dan memecah kelebihan fosfat dan kalium di dalam tanah.
Separoh output ekonomi tahunan dunia, sekitar $ 44 trilliun terancam akibat degradasi tanah. Walaupun benefit dari restorasi lahan diperkirakan bisa jauh lebih tinggi mencapai $ 125-140 triliun setahun, tetapi upaya ke arah sana mengalami berbagai hambatan. Kepedulian masyarakat belum memadai.
Apa implikasinya bagi kebijakan pertanian di Indonesia? Pertama, issue yang paling mendesak adalah menginformasikan kepada masyarakat akan pentingnya memperbaiki kondisi tanah. Saat ini sudah terditeksi pupuk kimia kurang efektif dalam meningkatkan produktivitas dan produksi.
Kedua, penyuluhan mengenai pengembalian tanah sakit menjadi tanah sehat adalah sangat penting dan prioritas. Petani tidak mungkin mengejar kenaikan produksi dengan kondisi tanah sakit. Upaya ini memakan waktu lama dan memerlukan kerja keras para penyuluh pertanian di lapangan.
Ketiga, harus segera dilakukan, didukung kebijakan dan anggaran yang cukup. Gerakan ini harus menjadi program nasional dan dengan komitmen tinggi seluruh lapisan pemerintahan di pusat dan di daerah. Setiap petani, besar atau kecil dapat melakukan regenerasi pertanian. Pemerintah berperan memberikan informasi dan pengetahuan sekaligus memasilitasi infrastruktur yang diperlukan.