Mimpi (Lagi) Bebas PMK Kerja Besar dan Lama
Munculnya Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) cukup menghantam kondisi ekonomi Indonesia, padahal pandemi Covid masih belum berakhir, bahkan virus ini terus melahirkan varian baru. Perkembangan PMK dapat diredam tetapi kembalinya virus berbahaya ini mengancam peternakan di negeri yang sempat bebas PMK bersama dengan Australia dan New Zealand.
PMK merupakan wabah virus pada hewan ternak ruminansia yang sangat menular dan menyerang semua hewan berkuku belah/genap seperti sapi, kerbau, domba, kambing, rusa, unta, dan termasuk hewan liar seperti gajah, antelope, bison, menjangan, dan jerapah.
PMK termasuk penyakit infeksi virus yang bersifat akut dan sangat menular, dengan masa inkubasi yang hanya 1-14 hari sejak hewan tertular penyakit. Angka kesakitan ini bisa mencapai 100 persen tetapi tingkat kematian hanya 1-5 persen. Angka kematian tinggi ada pada hewan muda atau anak-anak. Virus ini dapat bertahan lama di kawasan tertular sehingga membuat usaha peternakan selalu terancam.
Walaupun bukan penyakit yang bisa menular ke manusia (zoonosis), tetapi bagi peternakan PMK sangat merugikan. Penyakit yang akut dan sangat cepat menular tidak memberikan ruang bagi perkembangan peternakan dengan lalulintas ternak dan pakan yang tinggi. Lagipula, walaupun daging ternak sakit bisa dimakan, secara psikologis daging hewan yang sudah tertular penyakit pasti tidak mengundang selera untuk dimakan. Apalagi kalau melihat penderitaan hewan tertular begitu menderita dan sampai lumpuh tidak bisa berjalan.
Kita tidak perlu mencari-cari kesalahan mengapa PMK tiba-tiba muncul lagi. Padahal untuk mencapai bebas PMK tidak kurang dari 100 tahun kita berjuang. Tetapi walaupun ada upaya menangkal PMK baik dari daging maupun hewan impor, kita menyadari terlalu banyak (ribuan) pendaratan gelap dan tersembunyi yang tidak terkontrol dengan baik sehingga PMK bisa menerobos.
Beruntung (selalu beruntung) pemerintah beserta jajarannya cukup sigap menangani wabah ini sehingga lalulintas hewan segera dipantau dan dijaga, vaksin dan pengobatan segera dilakukan sehingga penyebarannya dapat dikontrol.
Menurut Wasito, di Inggris hewan yang terserang PMK wajib dipotong dan hewan yang sakit atau yang kontak dengan yang sakit dimusnahkan, dan pemerintah memberi ganti rugi. Tentu saja cara ini sangat mahal. Lebih efektif jika membebaskan dan menangkal virus berbahaya itu daripada tindakan kuratif.
Virus PMK tidak bisa berkembang dalam kondisi tingkat keasaman rendah atau basa tinggi, tapi tidak berarti kita harus memberi sapi-sapi itu minum bir atau soda seperti di Jepang. Konon sapi Wagiu di sana diberi minum bir bahkan dipijat dan dihibur lagu. Sapi termahal di Jepang ini harganya mencapai Rp 6,6 miliar seekor dan dagingnya sudah mengisi restoran dan hotel mahal di negara kita.
Kita hanya perlu komitmen semua pihak untuk menjaga agar usaha peternakan kita mendapat perlindungan, tidak terancam oleh perdagangan yang tidak adil apalagi penyakit yang datang dari luar.**