Bertemu Petani Milenial. Seperti Apa Mereka?
Dani, peternak domba dari Yogyakarta berpenampilan santai. Berbaju tangan pendek warna gelap dengan coretan khas anak muda, dia terlihat tak ada kikuk sedikit pun berhadapan dengan Bapak Pejabat di sekelilingnya dalam acara yang cukup formal. Begitu juga Siska, Dwiki Suhendar dan yang lainnya. Mereka bercanda tak ada beban. Itulah gaya generasi milenial yang khas. Beberapa lainnya bahkan hanya memakai T-Shirt tapi tampil penuh percaya diri. Inilah memang gaya milenial. Mereka punya dunia sendiri, yang bebas, informal, ikut seleranya sendiri tak dapat diatur-atur. Tapi bisnisnya keren.
Mereka bukan pengusaha agribisnis milenial sekelas Sandi Okta yang namanya melejit. Mereka adalah anak muda di pedesaan, berkiprah di bidang pertanian yang berbeda, tidak hanya karena muda usia tetapi karena usahanya didasari pemikiran bisnis, menerapkan prinsip efisiensi dan berwawasan lingkungan.
Lihat saja Antoni, pegiat budidaya nanas dan pengolahan limbah nanas di Kota Prabumulih, Provinsi Sumatera Selatan, Nurlia yang menangani pertanian organik di Sulawesi Selatan, Dwiki Riyantho Pasaribu dari Sumatera Utara, yang mengembangkan Toko Tani dan My Agromart, dan Bahrul Alam dari Jawa Timur, yang membudidayakan tanaman palawija dan hortikultura yang diintegrasikan dengan peternakan kambing dan domba.
Atau Muhammad Zainal (Kalimantan Timur), yang berbisnis pupuk organik, Taufik Mawaddani (DI Yogyakarta), yang mengelola peternakan kambing domba dan feedmill, Saleh Rismeita H, dari Papua Barat yang berkecimpung di pupuk organik, Maria Yumetri Omenu (NTT), mengembangkan hortikultura organik dengan irigasi tetes, dan Muhammad Dimastria dari Banten dengan usahanya Multi Agro Selaras Enjinering yang membuat alsintan.
Mereka bergerak di pertanian, tetapi tidak selalu konvensional padi, sawah dan palawija. Mereka tanpa sadar sudah menerapkan “zero waste system”, dia menghasilkan pupuk kandang dan menggunakan berbagai macam jenis pakan yang bukan konsentrat yang mahal itu.
Mari kita perhatikan ciri-cirinya. Mereka tekun dan menerapkan ide-idenya yang terbilang baru walaupun bukan teknologi kelas berat. Tapi baru. Beda dengan yang dilakukan orang tuanya.Yang jelas, mereka melakukan kegiatan usahanya dengan prinsip bisnis komersial yang efisien dan menguntungkan. Bibit harus bagus, pemeliharaan harus baik dan bersih, dan lingkungan harus terpelihara. Teknologi digital pun digunakan untuk tujuan produktif.
Secara gradual semakin terbentuk usaha agribisnis milenial seperti ini di pedesaan. Mereka perlu difasilitasi dengan kemudahan, pemberian informasi teknologi, contoh-contoh keberhasilan, pemasaran dan kualitas. Mereka menggunakan cukup banyak komunikasi digital walaupun tentu saja belum melakukannya untuk ekspansi pasar secara masif.
Pemasarannya masih terbatas. Mereka bangga dengan usahanya. Mereka perlu apresiasi bukan intervensi dengan batuan berlebihan, karena bisa berakibat kontra produktif. Bukan memupuk kemandirian tetapi memperkenalkan mereka pada ketergantungan. Mereka memerlukan fasilitas, peluang, informasi, dan kemudahan.
Biarkan bunga-bunga usahawan muda itu tumbuh, jangan terlalu banyak dipegang, maka mereka akan menebarkan wangi dan memperindah dunia pertanian kita.