Rejeki Go-Jek
Sepanjang tengah hingga akhir Agustus, lapangan parkir hall basket Senayan sumpek oleh ribuan motor. Seminggu empat hari sesak dari pagi hingga malam. Para calon operator ojek Go-Jek melamar. Mereka terimingi pendapatan besar oleh kisah pendahulunya. Ada pria, banyak perempuan. Pekerja informal hingga mahasiswa. Dari ujung kota hingga luar kota.
Yang boleh mendaftar adalah yang telah memperoleh reply SMS dari Go-Jek. Tak sedikit yang harus sabar menanti jawaban SMS. Menjadi bagian dari Go-Jek kini seperti harapan baru bagi banyak orang. Sebagai aplikasi dengan model sharing economy, sangat memungkinkan menggandeng begitu banyak profesi.
Di Senayan itu, orang-orang menumpukan harapan agar pendapatan lebih baik. Tak cuma calon gojekers, tapi juga pemilik warung nasi. Gara-gara open recruitment itu, pendapatannya naik. Semula cuma buka siang sampai sore, saat itu eksten hingga malam. “Kita sampai masak dua kali,” ujar sang pemilik warung. Di jalan depan hal dan lokasi parkir, puluhan penjaja gorengan rela sedia hingga gelap. Tak sedikit yang lekas ludes. Termasuk di situ ada penjual kopi instan dan minuman ringan.
Manajemen Go-Jek sendiri sangat antusias. Ini pengalaman baru buat mereka, menangani sebuah proses pelamaran. Dan, ini baru di Jakarta dan sekitarnya. Sam Diah, GM Corporate Relation Go-Jek sampai bolak-balik beli boks plastik besar untuk menyimpan berkas lamaran. Stok di ACE Hardware terpaksa diborong.
Selama beberapa hari itu, lapangan basket indoor nyaris tak ditingkahi pebasket amatir yang rutin menyewa lapangan. Artinya, pihak pengelola hall mendapat untung lebih kali ini. Jika tak ada event, tiap dua jam sewa lapangan berstandar internasional itu sebesar Rp200ribuan. Artinya, sehari pengelola bisa meraup sekitar Rp1-1,5 juta. Buat Go-Jek tarifnya masuk kategori bisnis. Angkanya bisa berkali lipat.
Sepanjang hari, bolak-balik truk boks menyuplai helm, jaket, dan perlengkapan lain. Demi keamanan dan kenyamanan, Go-Jek sampai harus meminta pihak kepolisian untuk berjaga. Sementara motor-motor yang berparkir menarik minat para tukang parkir dadakan. Mereka bikin space sendiri bahkan. Kabarnya sekali parkir ada yang mematok hingga Rp10.000,- per motor hingga malam.
Beberapa hari kemudian, dua buah banner besar terpancang di sana. Bertuliskan “Masuk menjadi Driver Gojek tidak dipungut biaya apapun alias GRATISSS!!!!”, dikeluarkan oleh Divisi Operasional Go-Jek. Hmm… rejeki nomplok buat pencetak banner.
Lalu, untuk apa musti pasang banner besar?
Rupanya, diam-diam, ada oknum yang memanfaatkan situasi pencari kerja itu. Ketika orang ingin cepat selesaikan urusan, atau segera mendapat panggilan lewat SMS, ada saja yang memancing perkara. Coba-coba mengais uang haram dari pelamar driver.
Di luar kisah recruitment tersebut, Go-Jek mulai melakukan ekspansi. Banyak perusahaan lantas ingin menjalin relasi, termasuk penggelar event. Konsep B2B mulai digagas dan digarap.
Lalu terlintas sebuah pertanyaan, Go-Jek barangkali anomali dari proses bisnis sebuah start up. Mereka mungkin sudah mengukur (scalable) tingkat pertumbuhannya. Tetapi ini terlalu cepat. Kilat. Lantas, apa konsekuensinya sekarang? Dan, bagaimana mengatur kembali proses bisnis agar akselerasi yang serba super ini sebenarnya adalah hal normal?