Banyak orang optimis dengan perkembangan dan arah perjalanan dunia telekomunikasi Indonesia sejak Rudiantara menjabat menteri. Jauh lebih tinggi harapan ketimbang beberapa tahun silam. Salah satu alasan personalnya tentu karena pelakunya ini lahir dan besar di industri yang bertahun-tahun ia jalani. Menclok dari satu operator ke operator lain, memahami bagaimana naik turunnya kinerja operator, sekaligus mengerti benar konsumen. Karena jika tidak, mungkin ia akan gagal ketika menjadi direktur Telkomsel.
Dengan kata lain, RA –begitu sapaan akrabnya- tahu A sampai Z-nya bidang telekomunikasi. Serangkaian gagasan diusulkan. Peta perjalanan dibuat. Lantas muncul tiga pilar yang akan memberi warna industri telko. Ia sebut DNA. Merupakan singkatan dari Device, Network dan Application. Sederhana tetapi jelas. Gampang dipahami tetapi juga menjadi dasar bagi wajah dunia telko itu sendiri.
Tiga hal ini adalah garda depan. Masing-masing oleh penggemar makanan buntil ini dibuatkan kebijaksanaan bahkan aturan. Device misalnya, siapapun importir perangkat harus mematuhi aturan 30 persen konten atau komponen lokal. Ia ingin menggerakkan sektor manufaktur yang dulu hanya berupa wacana melulu. Selain itu, katanya, ini juga akan menggairahkan desainer lokal untuk merancang form factor smartphone bercitarasa lokal tetapi bisa mengglobal.
Soal network alias jaringan, kita bisa melihat percepatan 4G LTE yang ditunggu-tunggu itu sudah ada wujud, layanan maupun pemakaiannya oleh masyarakat. Dulu, kita hanya mendengar hal-hal yang bersifat perencanaan doang. Bahkan sempat muncul pro dan kontra yang tak ada ujungnya. Rudiantara mewujudkan dalam bentuk yang praktis dan bisa digunakan. Pemberlakuan frekuensi 800 MHz yang tak beres-beres penataannya, kini sudah jelas akan dibawa ke mana. Mutlak karena memang sangat urgen.
Tak ada lagi ungkapan, “Emang kalau udah cepat mau apa?” Malah dijawab oleh pak menteri, “Internet harus cepat dan tidak lelet, tetapi juga secure.” Karena sebelum jaringan itu sendiri tersedia, sebenarnya sudah bersiap para developer, start up, kreator konten yang membutuhkan jaringan cepat untuk men-deliver aplikasinya.
Aplikasi Gojek umpamanya. Jika jaringan tak segera dibuat kebijakan jelas, mungkin hanya akan mandeg di tengah jalan. Aplikasi e-commerce juga menjadi jalan di tempat. Sekarang, lihatlah hampir semua online shop merebak. Kendati nilai transaksinya baru mencapai 12 miliar dolar. Kata, pak menteri sih masih kecil angka segini. Apalagi jika dilihat dari jumlah penduduk, meningkatkan kaum ekonomi menengah, juga tumbuhnya toko online.
Jadi, aplikasi akan tumbuh pesat. Seiring dengan kian bertambahnya smartphone dan jaringan 4G LTE. Belakangan sejumlah brand pun telah mendarat di Indonesia. Misalnya HiSense, Coolpad, Meizu, dan beberapa lainnya.
Jika jurus DNA itu saling sokong dan tumbuh sesuai aturan dan kebutuhan, maka tugas berikutnya adalah menyiapkan kebijakan pendukung. Ada dua soal yang amat jadi perhatian RA. Pertama soal model pembayaran (payment gateway) yang Indonesia belum punya. Masih mengandalkan paypal atau jika tidak transaksi tradisional menggunakan transfer bank. Cara kedua ini tergolong kuno. Gagasan pak menteri adalah membuat national payment gateway Indonesia. Dunia perbankan mustinya bisa. Daripada paypal yang bikin uang Anda akhirnya pindah ke Irlandia.
Kedua adalah investasi bagi para pelaku bisnis aplikasi. Mereka butuh modal untuk mengembangkan bisnisnya. Dalam hal ini, Rudiantara akan membuka dan mengajak Venture Capital untuk ambil bagian.
Ya, semua urusan dibuat jelas dan mudah dilaksanakan. Itulah cara Rudiantara.