Sudah jadi kebiasaan bangsa kita menjadi tukang gosip. Minggu-minggu lalu, banyak orang terkaget-kaget oleh i-Doser yang merebak. Terkirim dari satu messenger ke messenger lain. Niat hati ingin memberi peringatan agar waspada, yang terjadi malah salah informasi. Tak urang pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, serta Badan Narkotika Nasional (BNN) harus mengklarifikasi.
Kejadiannya barangkali seperti di Amerika lima tahun silam. Ketika itu, aplikasi yang dibikin oleh warga New York ini jadi bahan pembicaraan kalangan sekolah dan orang tua. Murid pun sama kagetnya. Beberapa video diunggah, memperlihatkan bagaimana peristiwa seorang remaja yang tergeletak lunglai atau ada pula yang memperlihatkan gejala seperti seorang pengguna narkoba. Ricuh, ramai, dan jadi pembicaraan skala nasional.
Artinya rakyat Amerika pun gampang terprovokasi gosip. Media setempat dari Huffingtonpost hingga USAToday yang telah berubah jadi media digital ramai-ramai mengungkap soal ini. Termasuk televisi lokal. Sikap mereka umumnya mengkritisi. Beberapa malah menyerbu tindakan pendiri i-Doser adalah gegabah. Produk ciptaannya juga dianggap sebagai sebuah output dari penyalahgunaan sebuah hasil penemuan seratus tahun lebih oleh Heinrich Wilhelm Dove yaitu sebuah audio sederhana yang disebut binaural beats.
Sikap media dilandasi pula oleh hasil wawancara dan riset ke praktisi dan ilmuwan. Hasilnya? Memang tidak ada bukti bahwa binaural beats buatan Nick Ashton dkk itu berefek.
Persoalan mengemuka karena i-Doser bikin istilah yang tak bisa diterima awam. Nama-nama produk narkoba digunakan. Dijelaskan pula efeknya. Lalu, kira-kira efek yang dialami pengguna narkoba itulah yang disebut bisa dirasakan pengguna i-Doser.
Ini jelas salah besar. Sementara dalam sebuah wawancara, Ashton sendiri tak mau disebut sebagai pembuat dan pemasok narkoba. Juga mengklaim mereka tidak membuat digital drugs seperti yang diwacanakan media Amerika. Maka, antara niat dan fakta menjadi berbanding terbalik. Maunya memberi solusi bagi yang susah tidur lelap atau mensugesti perokok berat agar berhenti merokok, namun justru disodori hal-hal yang berkonotasi negatif.
Inilah pangkal persoalan i-Doser. Celakanya, beberapa developer yang terpancing ikut bikin aplikasi serupa juga memakai nama-nama yang tak kalah hebohnya dengan i-Doser.
Konsumen aplikasi seperti digiring untuk menikmati sebuah audio yang bisa membikin pendengarnya klenger. Meskipun ada pula binaular beats (istilah untuk menjuluki audio tersebut) ada yang memang diperuntukkan bagi pengguna khusus.
Nah, mustinya pihak regulator telekomunikasi dan IT Amerika lekas-lekas memberikan peringatan. Khususnya pada soal penamaan produk. Jika perlu, mereka bisa berasosiasi dengan lembaga pendidikan, kesehatan untuk menguji benar produk beats tersebut.
Lihatlah langkah Kominfo yang berniat menguji. Dengan demikian kita semua ditenangkan agar tak termakan gosip.
Lagi pula, kita juga perlu tahu, bahwa yang disebut narkoba bukan lah dalam format audio seperti ini, kendati mungkin bisa merusak otak layaknya sebuah efek produk narkoba.
Perhatian boleh. Memberi warning juga harus. Tetapi jika membuat panik, rasanya Anda musti mulai pintar memahami dunia digital dan aplikasinya. Lewat SINYAL, saya ajak Anda untuk lebih paham dunia ini. Salam.