Investasi Sosial, dua kata itu memang belum begitu populer di khalayak umum. Tapi keberadaannya, sudah terbilang cukup lama. Kalau dilihat dari sejarahnya, investasi sosial itu sudah dikenalkan sejak tahun 1700-an. Ketika itu, ada sekelompok orang bersepakat untuk tidak membeli budak, meski waktu itu perbudakan dilegalkan. Atau kesepakatan untuk tidak berbisnis dengan merugikan tetangga dan membangun pabrik yang tidak mencemari lingkungan. Nah, caracara seperti itulah yang disebut sebagai investasi Sosial (Wikipedia).
Memang kalau berbicara investasi, yang terbayang bagi orang adalah keuntungan. Lebih spesifik, return-nya dari investasi itu adalah keuntungan berupa uang yang akhirnya dapat dinikmati oleh para investor. Tapi ketika dibubuhkan dengan kata sosial, investasi itu tidak lagi berujung pada keuntungan untuk investor tersebut, tapi keuntungan justru dirasakan oleh pihak ketiga, yaitu masyarakat banyak. Boleh dikatakan, investasi sosial itu hasilnya adalah berupa benefit atau manfaat yang bisa dirasakan masyarakat banyak.
Karena itu pula, perusahaan-perusahaan disarankan untuk turut melakukan investasi sosial. Manajemen dianjurkan tidak hanya sekedar mencari untung untuk perusahaan saja, tapi juga untuk masyarakat banyak terutama masayarakat di sekitar perusahaan itu beraktivitas. Investasi sosial seperti ini dikemas dalam bentuk CSR.
Sejalan dengan itu, lembaga penghimpun dan penyalur zakat, infak dan sedekah (LAZIS), juga tidak mau ketinggalan dalam melakukan investasi sosial seperti perusahaan-perusahaan tersebut. Tentu tujuan akhirnya adalah memberdayakan dhuafa yang menjadi salahsatu mustahiknya.
