Apa kabar para pembaca sekalian, semoga Allah Swt senantiasa menyertai seluruh ikhtiar kita dalam memperjuangkan kebaikan dan tegaknya kalimat alhaqq. Amin Menyebut Andalusia, membawa kita pada suasana keindahan, kejayaan dan keberadaban sebuah masyarakat yang berada di bawah naungan kekuasaan Islam di Spanyol. Penyair agung, Dante Alighieri, di abad XII, pernah membayangkan lahirnya “masyarakat manusia segala bangsa” yaitu sebuah masyarakat yang memperjuangkan keadilan dan pengembangan potensi nalar manusia.
Pemikiran Dante, yang dipengaruhi Ibnu Rusydi, sebenarnya sudah dilaksanakan selama lebih delapan abad ketika Islam memerintah Spanyol. Zaman yang dikenal dengan convivencia ini menyaksikan kerukunan hidup di kalangan masyarakat Yahudi, Kristen dan Islam. Orang Kristen membangun rumah dan memakai pakaian dengan gaya seperti orang Arab. Sastera Yahudi dan Islam diterjemahkan ke dalam bahasa Spanyol dan Latin, semisal syarah Ibnu Rusydi tentang Aristoteles dan karya Maimonides yang diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan dikutip oleh St. Thomas Aquinas.
Bahkan, Eropa, kata Irving dalam Falcon of Spain, menerima semangat yang memungkinkan manusia menguasai dunia dan menggunakannya untuk kepentingan manusia itu sendiri adalah bersumber dari pemikiran para sarjana Arab di Spanyol dan murid-murid mereka seperti Roger Bacon, Michael Scott dan Peter Abelard.
Yang tidak bisa dipahami, ketika dunia menjadi semakin kecil (globalized), kesadaran tentang jurang perbedaan antara masyarakat dan kelompok manusia semakin lebar; antara Barat dan Timur, antara Muslim dan Non-Muslim, antara yang berkuasa dan mereka yang terpinggir. Realitas ini tumbuh sebagai akibat dari praktik kekuasaan yang terpisah dari prinsip akhlak.
Kedamaian dan keamanan dunia yang abadi tidak bisa berdiri di atas landasan hegemoni agama, budaya, ekonomi dan politik, tetapi atas kesadaran terhadap wujudnya ‘orang lain’. Maka, disinilah pentingnya dialog. Karena, agama dan kebudayaan akan terus berbeda. Pepatah leluhur kita menyebutkan, “Lain padang lain belalang, lain lubuk lain pula ikannya”.
Demikian halnya dalam kehidupan keberagamaan kita di tanah air. Perbedaan yang ada, selaiknya disikapi sebagai sebuah fitrah yang tak terhindari. Sepanjang hujjah yang sahih menyertai argumentasi masing-masing, maka kita harus menerimanya dengan penuh kelapangan dada. Hujjah yang sahih itu, kata KH. Makruf Amin, harus memenuhi kategori naqliyyan, manthiqiyyan, wasathiyyan yakni berdasarkan pada nash, rasionalitas dan moderisme. Kita harus mengusahakan semua ini dengan kesadaran.
Karena sebagaimana kebenaran, kesadaran itu membebaskan. Yang berarti, membebaskan manusia dari kesempitan pandangan dan prasangka untuk selanjutnya membuka jalan kepada loyalitas yang lebih tinggi yaitu loyalitas kepada kebenaran dan keadilan. Wallahu a’lam.