Munculnya teknologi QR Code, barcode dua dimensi yang mengodekan sejumlah informasi dengan mengacu pada ISO dan IEC (statis maupun dinamis)–diakui sangat efektif sekaligus efisien untuk membantu peningkatkan inklusi keuangan dan elektronifikasi to last mile.
Dalam arti, jika teknologi pembayaran non tunai sebelumnya, seperti mesin EDC hanya menjangkau kalangan menengah ke atas maka QR Code berfungsi meluas–mempermudah transaksi di semua lapisan masyarakat. Ini akan mendorong kepemilikan rekening bagi masyarakat unbanked dan dengan kemudahannya QR Code lebih cepat beradaptasi di kalangan menengah ke bawah.
Atas dasar itulah, otoritas sistem pembayaran di Indonesia c.q Bank Indonesia (BI) akan mengeluarkan standardisasi QR Code pada kuartal I 2019. Onny Widjanarko, Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran (DKSP) Bank Indonesia, menyatakan teknologi yang diciptakan oleh Denso Wave, anak usaha Toyota, pada 1994 silam merupakan jawaban atas kebutuhan masyarakat saat ini.
Kebutuhan itu terus meningkat hingga per September 2018 lalu, BI mencatat transaksi harian non tunai meningkat (yoy) melalui kartu debit 12% (Rp18 triliun), kredit 6% (Rp950 miliar), dan uang elektronik 250% (Rp140 miliar). Untuk itu, BI mulai merumuskan standar untuk QR Code dengan mengacu pada best practice di dunia.
Beberapa negara seperti China, Jepang, dan Singapura telah menjadi percontohan. China dipilih lantaran sudah begitu matang menerapkan cashless society dan terdapat banyak daftar belanjaan yang tak lagi melibatkan uang tunai–mulai dari Beijing sampai kota terpencil. Beberapa aplikasi juga dianggap telah mempopulerkan sistem non tunai, seperti WeChat dan Alipay.
