Berbicara mengenai imbal hasil belanja teknologi manajemen pengalaman, atau lebih dikenal sebagai Return on Experience (RoE), ada banyak sumber yang bisa dijadikan rujukan. Salah satunya dari Harvard Business Review yang menaksir, merek yang fokus pada pengalaman konsumen lazimnya memperoleh tingkat pertumbuhan pendapatan sekitar 23%, berbanding 13% pada perusahan umumnya.
Bisnis mereka juga tumbuh 80% secara tahunan, dua kali lebih besar ketimbang nilai customer lifetime mereka. Sementara Forrester menaksir, organisasi yang fokus pada pengalaman lazimnya memiliki laba rata-rata empat kali lebih besar ketimbang perusahaan umumnya, dan memiliki pendapatan rata-rata dia kali lebih besar ketimbang perusahaan umumnya.
Mereka, meski umumnya secara skala perusahaan 25% lebih kecil, memiliki tingkat produktivitas dan inovasi yang lebih tinggi. Presiden SAP Asia Tenggara Claus Andresen menyatakan dengan memiliki konsumen yang senang, perusahaan berpotensi menerima pendapatan satu hingga tiga kali lebih besar ketimbang mereka yang konsumennya tidak senang.
Konsumen yang meninggalkan merek lantaran pengalaman buruk merupakan peluang bisnis yang hilang. Jika perusahaan mampu mengurapi gap ekspektasi tersebut, bisa membuat konsumen mereka “menempel” atau bahkan memberi tambahan penjualan. “RoE sama besarnya dengan gap ekpektasi pelanggan akan pengalaman super tadi, sekitar 80 persen berbanding 8%.
Sebenarnya bisnis teknologi CRM yang nilainya lebih dari US$500 miliar ini bukan satu hal baru. 20-30 tahun belakangan kami, para vendor termasuk Oracle dan SalesForce sama-sama membuktikan RoI-nya. Yang berbeda, manajemen pengalaman memberi perusahaan satu tingkat di atas sekadar rekaman transaksi ataupun masa depan bisnis, yakni memberikan insight sesungguhnya dari seorang konsumen,” kata dia
