Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Jumat, 10 Januari 2020
Gratis
Setelah Wahyu Jadi Tersangka
TAK ada makan siang gratis. Apalagi jika menunya istimewa: kekuasaan. Dia punya tarif. Tarif tak kira-kira. Tarif itulah yang menggelincirkan Wahyu Setiawan, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Apa yang terjadi ini tentu saja memalukan dan membuka ruang bagi masyarakat menumpahkan kemarahannya. Wahyu melupakan janji dan pakta integritas yang pernah dia tanda tangani.Yang lebih menyedihkan dan memalukan adalah dari konstruksi perkara yang dilakukan KPK, Wahyu tidak bisa disebut sebagai penerima hadiah.
Dia adalah ‘penginjak kaki’, penagih uang haram dari kader PDI Perjuangan, Harun Masiku.Tentu saja, apa yang dilakukan Wahyu membuat kredibilitas KPU hancur ke titik terendah.
KPU boleh saja berkilah tak seperti itu. Misalnya, menyatakan hanya satu dari tujuh komisionernya yang terjerat OTT.OTT terhadap Wahyu bukan sekadar perkara angka. Hanya satu orang komisioner atau barang buktinya cuma Rp400 juta.
Dia adalah soal kejujuran dan integritas dari komisi yang semestinya begitu dipercaya publik Sebab, apa yang dikerjakan KPU sebagai penyelenggara pemilu, adalah hal yang akan menentukan nasib bangsa.Wajar jika secara emosional, publik pun kemudian mempertanyakan soal hasil pemilu, baik pemilihan perwakilan rakyat atau presiden.
Sebab, terbukti, di antara anggota komisi, ternyata ada yang patut diduga bukan hanya sebagai penyelenggara, melainkan juga seorang pemain.Kita patut mengapresiasi OTT yang dilakukan KPK. Buat kita, tak perlu terlalu dipersoalkan, apakah ini sisa hasil kerja komisioner KPK sebelumnya atau sekarang. Yang penting,
KPK sudah membukakan pintu untuk membuktikan bahwa lembaga KPU bukanlah lembaga yang sempurna.Apakah Wahyu jadi pemain tunggal dalam kasus ini, kita tentu patut menunggu kelanjutan hasil penyidikan KPK.
Sejauh ini, publik meyakini Wahyu bukanlah pemain tunggal mengingat pengambilan keputusan KPU adalag kolektif kolegial.KPK yang harus menuntaskan penyidikan soal itu meski dari konstruksi awal, gambaran yang muncul adalah Wahyu bermain sendiri.
KPK tidak perlu menutup-nutupi siapapun yang terlibat dalam kasus ini karena –kita sepakat dengan Lili Pintauli Siregar—apa yang dilakukan Wahyu adalah pengkhianatan terhadap proses demokrasi. (*)
Inilah Koran merupakan media cetak yang terbit di Kota Bandung sejak 10 November 2011. Lahir dengan mengusung semangat Jurnalisme Positif, Inilah Koran bertekad untuk mengembalikan peran dan fungsi media sebagai sarana informasi, edukasi dan inspirasi. Inilah Koran juga bertekad menjadi koran nasional yang terbit dari Bandung dengan tagline "Dari Bandung untuk Indonesia".
Anda tidak bisa membeli publikasi, melakukan pendaftaran melalui aplikasi, klaim voucher melalui aplikasi. Pembelian, pendaftaran dan klaim voucher dapat dilakukan melalui website.