Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

MUNCULNYA Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2020 harus dimaknai sebagai semangat untuk memberantas korupsi. Dalam konteks ini, kita setuju dan mendukung hukuman yang berat untuk para pencoleng uang rakyat itu.

Aturan dalam Perma ini harus kita pandang sebagai rujukan untuk menempatkan hukuman bagi pelaku korupsi pada proporsi yang sesungguhnya. Ini sekaligus sebagai alat ukur agar hakim yang menyidang kasus dugaan korupsi tak lagi bermain-main.

Tentu saja, dalam memutus vonis bagi pelaku korupsi, hakim akan berpijak pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Tapi, meski diatur lewat pasal-pasalnya, selalu ada ruang subjektif bagi majelis hakim untuk menjatuhkan vonis hukuman. Inilah yang disebut sebagai disparitas hukuman itu.

Kita memandang, Perma ini yang mempersempit ruang untuk memunculkan subjektivitas itu. Karena itu, Perma akan memperkuat UU Nomor 20 Tahun 2001 itu sebagai dasar bagi hakim untuk menjatuhkan vonis. Perma ini yang diharapkan mempersempit ruang disparitas itu.

Pada Perma itu, misalnya, hakim harus mempertimbangkan kategori kerugian negara; tingkat kesalahan, dampak dan keuntungan; rentang penjatuhan pidana; keadaan yang memberatkan atau meringankan; penjatuhan pidana, serta ketentuan lain yang berkaitan dengan penjatuhan pidana.

Perma, sementara, menempatkan nilai kerugian negara di atas Rp100 miliar untuk mendapatkan hukuman paling berat. Bisa seumur hidup. Kemudian turun ke tingkat berikutnya, berat (Rp25-100 miliar), sedang (Rp1-25 miliar), dan ringan (Rp200 juta-Rp1 miliar).

Buat kita, perma sebagai pendukung pasal di UU, sah saja. Bahkan kita mendukungnya. Agar publik tidak lagi melihat maling negara dalam jumlah besar, justru mendapatkan hukuman lebih ringan dibandingkan pencuri uang negara dalam jumlah yang lebih sedikit.

Ada, misalnya, pelaku korupsi dengan kerugian negara hingga puluhan miliar rupiah, mendapatkan hukuman dua tahun. Tapi, ada pula yang hanya menerima puluhan juta, bisa kena hingga 2,5 tahun. Tentu saja vonis-vonis semacam itu memunculkan pertanyaan dalam hal keadilan bagi publik.

Kita, di mana perlu, bahkan mendukung sepenuhnya jika kemudian muncul pemikiran untuk merevisi UU Pemberantasan Korupsi, sepanjang itu dimaksudkan untuk mempertegas perang melawan korupsi. Kita tetap pada rel yang lurus: menjadi penentang perilaku korupsi abdi rakyat dan penyelenggara negara. (*)

Agustus 2020