Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

HARAMKAH seorang (mantan) mencalonkan diri sebagai kepala daerah? Tentu saja tidak. Siapapun, mulai dari artis, arsitek, pengusaha, hingga penjual martabak, dan profesi lainnya, bebas saja mengikuti kontestasi. Asal memenuhi syarat.

Maka, tentu saja tak ada yang melarang Atep Rizal, legenda Persib, maju di Pilkada Kabupaten Bandung. Dia menjadi pendamping Yena Ma’some dan bakal maju menggunakan perahu koalisi PDI Perjuangan dan PAN.

Jika Atep menang Pilkada 2020 pun, dia bukan pemain bola pertama yang jadi kepala daerah. Di Bengkulu, wakil gubernurnya saat ini juga pemain bola, kira-kira seangkatan Atep jugalah. Salah satu bakal calon wakil gubernur di sana untuk Pilkada 2020 juga mantan pemain bola. Tentu, popularitas keduanya sangat jauh di bawah Atep.

Atlet-atlet yang terjun ke politik dan memegang posisi kunci pun tak sedikit. Yayuk Basuki, Moreno Soeprapto, hingga Utut Adianto pernah duduk di DPR. Utut bahkan sempat menduduki kursi Wakil Ketua DPR.

Di luar negeri pun banyak mantan pemain terjun ke politik. Pele pernah jadi Menteri Olahraga Khusus Brasil. Romario, Hakan Sukur, Roman Pavlyuchenko, jadi anggota parlemen atau senator. Kakha Kaladze jadi Wali Kota Tbilisi dan George Weah Presiden Liberia.

Legenda seperti Atep tentu memiliki keunggulan. Popularitasnya tinggi. Itu satu modal. Dia tinggal mengejawantahkan popularitas menjadi elektabilitas. Popularitas tanpa elektabilitas tak berguna di kontestasi demokrasi.

Elektabilitas adalah seberapa besar publik percaya seseorang layak jadi pemimpin. Inilah sesungguhnya tantangan terbesar bagi Atep. Itu hanya bisa dilihat dari rekam jejak dan visi ke depan. Weah perlu ikut tiga kali pilpres sampai orang meyakininya.

Tetapi, tantangan yang lebih besar bagi Atep sejatinya adalah bagaimana mengubah diri dari olahragawan menjadi politisi. Ini yang takkan mudah karena menyangkut nurani.

Olahraga mengajarkan seseorang kukuh pada sportivitas. Atep mempelajarinya dari kecil. Khatam A-Z. Politik justru sebaliknya. Hari ini A, besok bisa Z. Saling tikung, saling sikut, saling kepret ada di sana. Politik tidak salah. Dia hanya dirusak perilaku politisi-politisi.

Atep, sebagai atlet, tentu mempelajari dan berlatih menjaga endurance-nya. Politik juga butuh endurance. Tapi, apakah endurance keolahragaan Atep cukup kuat dan memiliki daya tahan di panggung politik, itu juga jadi pertanyaan.

Banyak yang perlu dilakukan Atep, terutama mentransformasi dirinya dari atlet menjadi politisi. Jika dia tak mampu, maka dia hanya akan dikenang sebagai Atep mantan bintang Persib, bukan mantan Wakil Bupati Bandung.

Agustus 2020