Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

REVOLUSI mental itu terlalu berat buat kita. Sudah lebih enam tahun, rasanya yang mencuat hanya jargonnya. Tak kuat kita merevolusi mental kita yang kadung ambruk dan bobrok.

Revolusi akhlak? Ini jauh lebih berat. Akhlak sebagian kita sudah sedemikian kacaunya. Mungkin karena kini di lembaga-lembaga pendidikan tak diajarkan lagi akhlak yang baik itu.

Lalu, apa yang mungkin dan masuk akal kita lakukan? Revolusi keadilan. Ini prasyaratnya lebih ringan. Hanya perlu menegakkan sesuai ketentuan yang berlaku. Tidak berat sebelah, tidak tajam ke satu pihak tumpul ke pihak lain.

Rasa keadilan itulah yang dirasakan sebagian kalangan mulai tergerus saat ini. Ada kecenderungan berpihak pada pihak-pihak yang kuat. Apakah kuat karena kekuasaan atau kuat karena kapital.

Padahal, itulah yang menjadi prasyarat utuh sebuah negara demokrasi. Keadilan itu pulalah yang disyaratkan Pancasila, landasan berdirinya negara kita. Rasa keadilan itu yang membuat NKRI ini akan semakin kuat.

Tapi, yang dirasakan masyarakat adalah penegakan keadilan ini yang terasa kurang saat ini. Prinsip kesamaan di depan hukum seperti sudah hilang di negeri ini. Hukum seperti memilah-milah.

Itu sebabnya, perbincangan soal rendahnya skala keadilan ini menjadi perbincangan yang selalu ramai di debat publik. Hukum tentu saja takkan memuaskan keseluruhan masyarakat. Tapi, hukum yang tegak karena keadilan, bisa meminimalkan disrupsi yang terjadi dalam kehidupan masyarakat.

“Hukum yang tidak adil adalah bagian dari kekerasan,” kata Mahatma Gandhi. Selain bisa menciptakan kezaliman kepada korbannya, juga potensial memicu kekerasan lainnya.

Tidak perlu kita jauh-jauh mencari contoh keadilan yang tak seimbang itu. Soal protokol kesehatan, misalnya. Pelanggaran yang terjadi pekan lalu, demikian cepatnya diproses penegak hukum. Bandingkan dengan kerumunan yang terjadi dalam proses pilkada, dari pendaftaran calon sampai pesta dangdut saat deklarasi, semuanya diam-diam saja. Tak cepat diusut, tak ada penegak hukum yang ditindak karena melakukan pembiaran.

Tentu saja kita tak membenarkan kerumunan terjadi di era pandemi. Buat kita, kerumunan di manapun, menyalahi protokol. Karena itu, bentuk kerumunan apapun, harus diperlakukan sama di depan hukum.

Lalu, mungkinkah penegakan hukum dan keadilan direvolusi? Dalam situasi seperti saat ini, kita pun merasa pesimistis. Kecuali jika para penegak hukum bersungguh-sungguh, tak melakukan pelanggaran, tak menghadirkan perbedaan, menempatkan siapapun sama di depan hukum. Dan, itu perlu revolusi, karena sudah berkeraknya keadilan yang tergadai itu di negeri ini. (*)

November 2020