Prokes Dua Versi
TIBA di mata dipicingkan, tiba di perut dikempeskan. Kenapa banyak sekali pemimpin kita seperti itu sekarang? Padahal, tak perlu pula malu jika pejabat negara melakukan kesalahan. Bukankah kesempurnaan hanya milik Yang Maha Kuasa.
Dalam wacana antara Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil dan Menteri Polhukham Mahfud MD, kita melihat lagi sikap seperti itu. Menteri Mahfud tiba-tiba mengatakan tak ada pelanggaran protokol saat pendukung menjemput kepulangan Habib Rizieq Shihab di Bandara Soekarno-Hatta.
Oh, mari, marilah kita jujur. Apalagi terhadap fakta yang sudah terlihat di depan mata publik.
Pun, masih banyak jejak digitalnya. Tak bisa kita pungkiri, saat itu terjadi pelanggaran protokol kesehatan.
Itu jika kita maknai protokol kesehatan itu adalah menjaga jarak, memakai masker, dan mencuci tangan. Dalam beberapa tayangan yang masih kita ingat, tak sedikit yang tak mengenakan masker di sana. Yang lebih pasti dan tak bisa dipungkiri, terjadi kerumunan di sana. Tak ada jaga jarak.
Bagaimana mungkin kita menyimpulkan tak ada pelanggaran protokol kesehatan saat itu? Kecuali, kalau cara pandang kita terhadap protokol kesehatan berbeda. Cara pandang pejabat dengan masyarakat umum berbeda.
Tetapi, bukankah protokol itu 3M yang selama ini dikampanyekan pemerintah? Tak eloklah membela diri dengan caracara seperti itu. Buat kita, kerumunan adalah pelanggaran protokol kesehatan. Kerumunan bandara, Petamburan, Megamendung, aksi demonstrasi yang panjang, proses pilkada – mulai pendaftaran calon, kampanye, hingga selebrasi kemenangan—tak ada bedanya. Itu pelanggaran protokol.
Lepas dari itu, pernyataan Ridwan Kamil yang cukup heboh itu, buat kita terlalu sempit jika dimaknai sebagai sekadar pelanggaran protokol kesehatan. Pernyataan itu kita baca sebagai tuntutan keadilan yang sesungguh-sungguhnya.
Tak ada standar ganda.
Dan, itulah yang kita rasakan saat ini. Saat kerumunan di seputaran Habib Rizieq Shihab dikejar kemana-mana, tapi kita membiarkan kerumunan di proses pilkada. Saat pasal karet UU ITE begitu keras menyergap pihak-pihak tertentu, tetapi begitu lembut terhadap pihak lain.
Itu yang kita lihat sehari-hari. Bagaimana ada yang melaporkan orang bermimpi dan tanggapan petugas begitu cepat, sementara pelaporan kasus terhadap Denny Siregar yang dilakukan sejumlah santri di Tasikmalaya yang sudah berbulan-bulan, jalan di tempat, bahkan sangat tebal kesan dibiarkan.
Memang, semuanya akan sulit jika kita bersikap seperti pembuka tulisan ini: tiba di mata dipicingkan, tiba di perut dikempeskan.