Mulutmu Harimaumu
SIAPAPUN kita, seberapa tinggi pun kedudukan kita, satu hal yang harus dihindari, adalah bercanda tentang keyakinan orang lain. Sebab, potensi yang akan muncul nantinya, adalah lebih banyak kemudaratannya.
Keyakinan, apalagi yang terkait dengan agama, adalah hal yang sangat sensitif. Itulah sebabnya, pemerintah menetapkan dia menjadi salah satu unsur yang harus dijaga dari sentuhan-sentuhan yang melecehkan. Selain agama, ada pula ihwal suku, ras, dan antargolongan.
Apakah Zuhairi Misrawi, yang mengaku cendekiawan itu, menyentuh bahaya itu soal pernyataannya tentang ormas Muhammadiyah yang sedang ramai jadi perbincangan publik, kita tidak dalam kapasitas menentukannya. Yang kita ingatkan adalah jangan lagi menyentuh hal-hal semacam itu dengan guyonan, candaan.
Guyonan atau candaan tentang keyakinan, atau aliran keyakinan seseorang, bukan sesuatu yang harus dijadikan bahan candaan. Sebab, dia bisa menjadi salah tafsir, salah pengertian. Ujungnya, keributan yang seperti terjadi saat ini.
Sebagai cendekiawan, semestinya seseorang paham dengan ungkapan ‘mulutmu harimaumu’. Setiap perkataan yang keluar dari mulut, semestinya dipikirkan matang-matang akibat yang muncul. Jika tidak, lebih baik diam! Diam itu emas, kata orang-orang tua kita dulu. Emas itu adalah ketenangan.
Apalagi, di tengah disrupsi informasi yang tiada terkendali seperti saat ini. Jangankan kesalahan, kebenaran saja bisa dipandang sebagai kekeliruan. Karena itu, sikap hati-hati adalah alat kendali jatidiri.
Bisa saja seseorang berdalih, pernyataannya dipelintir. Tentu takkan bisa dipelintir jika pernyataannya adalah pernyataan yang firm. Lagi pula, jika banyak pemelintiran pernyataan, bukankah seorang cendekiawan sepatutnya tidak melontarkan pernyataan yang gampang dipelintir orang? Kita menaruh perhatian terhadap ini bukan karena yang disoal adalah Zuhairi Misrawi, politisi cum cendekiawan itu. Kita menaruh perhatian karena dari apa yang kita rasakan adalah keterbelahan bangsa ini kian menjadi-jadi.
Tak hanya di kelompok masyarakat bawah, pernyataan-pernyataan membelah itu bahkan muncul pula dari mulut sejumlah kalangan pejabat negeri. Bukankah itu hal yang mengkhawatirkan terhadap persatuan kita, persatuan yang dilandasi sebagai sebuah negara kesatuan yang berdasarkan pada Pancasila? Maka, kepada siapapun, kita mengimbau untuk menyampaikan pernyataan-pernyataan yang sejuk. Apalagi dari para tokoh. Janganlah hal-hal sensitif dibuat bahan guyonan. Kalau tak bisa, tanggalkankah sebutan cendekiawan itu. (*)