Demo? Ke Jakarta Saja!
Keputusan tentang besaran kenaikan upah minimum kabupaten/kota ada di tangan gubernur. Tapi, inti persoalan sebenarnya ada di pemerintahan pusat. Jadi, kalau buruh mau melakukan aksi, yang paling tepat adalah beraksi di Jakarta.
Kita sudah melihat arah aksi yang keliru dari buruh. Melakukan aksi ke pemerintah provinsi bukanlah langkah yang tepat. Potensi memicu persoalan lain, seperti yang terjadi di Banten, misalnya.
Posisi gubernur, kecuali Gubernur DKI Jakarta, adalah pihak yang hanya jadi jepitan antara pengusaha, pekerja, dan mungkin saja kaum oligarki. Gubernur ditekan dari pusat, ditonjok dari kabupaten/kota, dan kini harus berhadapan dengan buruh.
Dalam hal penetapan UMK, posisi gubernur memang selalu dijepit. Dulu, jepitannya agak longgar: buruh, pengusaha, dan pemerintah kabupaten/kota. Kini, jepitannya makin dahsyat dan akan sangat sulit dilawan: pemerintah pusat melalui Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.
Pemerintah pusat sudah mengatur tentang pengupahan itu. Ada batas atas yang tak mungkin dilampaui gubernur. Sebab, jika keputusan gubernur menaikkan UMK melampaui PP No 36, maka itu berarti berlawanan dengan peraturan di atasnya. Menyerupai keputusan inkonstitusional.
Kita tentu juga memaklumi keinginan buruh untuk meningkatkan kesejahteraan. Terutama, karena angka kebutuhan hidup yang makin membubung tatkala pemerintah tak bisa mengawal harga-harga kebutuhan warga. Premium-pertalite mau dihilangkan, pajak sana-sini mau dinaikkan, tentu akan berpengaruh pada kehidupan buruh.
Tapi, sekali lagi, melakukan aksi ke pemerintah daerah, dalam hal ini pemerintah provinsi, takkan membuahkan hasil. Sebab, dari strata regulasi, mereka harus mengikut pada regulasi yang lebih tinggi.
Maka, kita sarankan kepada buruh, jika masih ingin memperjuangkan kenaikan UMK, sasaran inti sebenarnya bukan ada di pemerintah provinsi. Lakukanlah aksi demo di Jakarta, di pusat pemerintahan. Merekalah yang membuat regulasi yang memangkas wewenang gubernur untuk menetapkan upah yang lebih berkeadilan.
Tidak apa-apa melakukan aksi ke Istana atau ke Kantor Kementerian Tenaga Kerja, misalnya. Tentu, aksi yang tertib dan sesuai dengan regulasi. Sebab, di situlah sebenarnya sumber dasar persoalan UMK ini.
Percayalah, aksi-aksi yang dilakukan ke kantor gubernur manapun, akan membuahkan hasil yang relatif sama: penolakan. Sebab, gubernur tidak memiliki wewenang untuk memenuhi harapan buruh. Kecuali tentu pada daerah-daerah yang bersifat khusus dan istimewa seperti DKI Jakarta, yang penetapan UMK-nya tak dilakukan kabupaten/kota, melainkan pemerintah provinsi.(*)