Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Kamis, 30 Desember 2021
Gratis
Tukang Survei
Tukang survei itu profesi terhormat. Yang tak terhormat itu sebagian pelakunya. Tak terhormat karena mereka salah langkah. Tak menjaga kehormatan profesinya.
Tukang survei itu ibarat tukang wasit di lapangan bola. Dia dinilai dari harkat dan martabatnya. Dasarnya adalah kejujuran. Tidak berpihak. Sportivitas. Fair play. Kalau sudah berpihak, “wasitnya” hilang, yang tersisa tinggal “tukangnya”. Hilang kehormatannya.
Itu sebabnya, ketika jadi wasit –terbaik di dunia—Pierluigi Collina tak pernah secara terbuka menyatakan kesukaan atau ketidaksukaan terhadap tim. Itu sebabnya wasit legendaris Inggris, Graham Poll, baru bisa berkomentar soal wasit, tim, pemain, pelatih, setelah dia pensiun.
Bagaimana dengan tukang survei di Indonesia? Sudah lebih banyak yang jadi “tukang” ketimbang jadi surveyor. Kejujurannya tak terlihat. Keberpihakannya terang benderang terlihat.
Misalnya begini, ada tukang survei yang dalam pernyataan-pernyataannya menyerang salah satu tokoh politik. Itu patut diduga sebagai surveyor yang harga dirinya sudah tergadai.
Betapapun tukang survei tidak suka –atau sebaliknya sangat suka-- terhadap tokoh politik, maka dia sebaik-baiknya menyembunyikannya. Cukup dia yang tahu. Tak perlu diumbar di ruang terbuka.
Sebab, jika perasaan itu sudah dia ungkap ke hadapan publik, maka hasil surveinya patut diduga sudah tidak fair lagi. Sudah banyak kepentingan. Paling tidak, kepentingan politik personalnya. Belum lagi kepentingan pemodal survei, sesuatu yang sangat jarang secara terbuka diungkap tukang survei.
Kita patut heran, di negeri ini banyak tukang survei yang merangkap sebagai konsultan politik. Dari mana kejujuran bisa ditangkap dari dua profesi yang dasarnya saling bertolak belakang itu? Yang ada malah kepentingan konsultansi politiknya akan bercampur aduk dengan hasil survei. Tidak jujur. Tidak sportif. Tidak fair. Tentu saja hasilnya “ngaco”.
Itulah sebabnya, dari berbagai paparan hasil survei yang terungkap ke publik di tengah suasana memasuki tahun politik, popularitas dan elektabilitas tokoh politik bisa berbeda-beda. Jika beda tipis masih masuk akal. Tapi kalau seperti siang dan malam, jelas sebuah persoalan.
Itulah kenyataan yang ada sekarang. Kita tentu tak menafikan tukang survei sebagai bagian dari demokrasi. Tapi, tukang survei yang sudah kehilangan harkat, martabat, dan kehormatannya, adalah virus bagi demokrasi. Dia sedahsyat Omicron, bahayanya setara dengan Delta. (*)
Inilah Koran merupakan media cetak yang terbit di Kota Bandung sejak 10 November 2011. Lahir dengan mengusung semangat Jurnalisme Positif, Inilah Koran bertekad untuk mengembalikan peran dan fungsi media sebagai sarana informasi, edukasi dan inspirasi. Inilah Koran juga bertekad menjadi koran nasional yang terbit dari Bandung dengan tagline "Dari Bandung untuk Indonesia".
Anda tidak bisa membeli publikasi, melakukan pendaftaran melalui aplikasi, klaim vocuher melalui aplikasi. Pembelian, pendaftaran dan klaim vocuher dapat dilakukan melalui website.