Pendidikan yang Tercabik
Praktik pendidikan kita sedang tidak baik-baik saja. Berbagai persoalan yang terjadi akhir-akhir ini adalah buktinya. Perlu rekomitmen kuat dari seluruh pemangku kepentingan untuk menyelamatkan tunas-tunas bangsa.
Kita jejerkan saja. Di dua pesantren di Bandung Raya, terungkap skandal memalukan, pencabulan dan pelecehan seksual terhadap anak didik. Di SMA Kota Bandung, mencuat dugaan kasus suap yang sedang ditelisik. Selain itu, ada pula persoalan ‘Lingkaran Setan’, sebuah perpeloncoan di SMAN 1 Ciamis yang memakan 18 korban.
Kita menjadi amat prihatin karena yang diduga sebagai pelaku utamanya adalah pendidik. Jika guru, tenaga pengajar, memiliki “tangan kotor” untuk mendidik para siswa, hasil apa yang kita harapkan ke depan? Secara mentalitas, jelas mereka yang diduga terlibat itu, jika terbukti, tak layak jadi pendidik. Mereka begitu gampang tergoda 3 ta; harta, wanita, dan tahta. Bahkan pada tingkat yang memalukan sekali.
Tentu, kita bisa berdalih, bahwa itu hanya sebagian kecil. Tapi, kita juga bisa sodorkan kontradalih: bukankah yang sebagian kecil itu hanyalah yang terungkap. Berapa pula banyak persoalan yang tidak terungkap? Dalam soal tindakan pencabulan atau pelecehan seksual terhadap anak didik, kita berkeyakinan cukup banyak terjadi. Tapi, selalu kasus-kasus semacam ini sulit diungkap. Utamanya tentu tiadanya keberanian korban untuk melaporkan apa yang mereka alami.
Jika ada yang berani mengungkap, maka guru pesantren di Kota Bandung, yang sekarang sedang menjalani sidang, mungkin tak perlu menghadapi tuntutan hukuman mati. Jika korban pertamanya melaporkan, peluang dia untuk tidak mengulang perbuatan masih terbuka.
Pun dalam soal dugaan suap-menyuap. Kita sependapat dengan Ketua Forum Aksi Guru Indonesia (FAGI) Jawa Barat, Iwan Hermawan. Dia bilang yang terjadi di SMAN 22 Bandung biasa terjadi. Terjadi juga di sekolah lain. Bahkan dengan nilai yang lebih tinggi.
Sekali lagi, persoalan-persoalan tersebut tak gampang diungkap. Terutama, karena selalu ada kepentingan antara pemberi dan penerima. Dua-duanya mendapat keuntungan. Yang rugi hanyalah dunia pendidikan.
Apakah semuanya seperti itu? Pasti tidak. Koran ini, selama beberapa tahun, pernah menggelar ajang pemilihan guru inspiratif. Terbukti, guru-guru hebat, guru-guru penuh komitmen, mereka yang rela berkorban, sangat banyak di Jawa Barat.
Yang kita butuhkan adalah kalangan pendidik yang berkomitmen tinggi. Hanya merekalah yang bisa menyelamatkan pendidikan tunas-tunas bangsa ke depannya. Bukan guru pesantren yang sedang disidang, bukan pemilik pesantren yang jadi tersangka, atau tidak pula pendidik yang bermasalah karena dugaan suap. (*)