Utang Gelap
Selain yang terang benderang, kita punya utang tersembunyi. Utang gelap. Artinya, utang itu tak tercatat secara langsung, baik oleh negara maupun oleh penerima utang dalam neraca negara ataupun neraca perusahaan. Pemberi utang yaaa... siapa lagi jika bukan Cina. Utang pemerintah yang terang benderang, hingga akhir Agustus 2021, mencapai Rp6.625,43 triliun; setara dengan 40,85% PDB. Adapun utang gelap istilah yang tak terdengar selama sekian rezim jumlahnya Rp246 triliun.
Kenapa Cina? Mereka kini jadi negara kreditor terbesar di dunia. Modus utang gelap ini merupakan strategi mereka untuk menguasai dunia lewat OBOR (One Belt One Road). Itu sebabnya sejumlah negara kian terjebak. Mereka terjerat utang untuk pembiayaan infrastruktur dan energi. Bila terjadi sesuatu, Cina berhak mengeksekusi secara sepihak: ambil alih pengelola atau minta kompensasi lain.
Ada 10 negara yang terlilit utang Cina dalam jumlah fantastis. Pakistan, 80% PDB-nya utang dari Cina, Maladewa dan Kenya kasus kereta apinya persis Indonesia, Jibouti, Laos, Mongolia, Montenegro, Kyrgyztan, Tajikistan, dan Sri Lanka yang pelabuhannya sudah diserahkan ke Cina. Akankah Indonesia bernasib seperti Maladewa dan Kenya? “Kemungkinan besar saya menduga akan terjadi hal yang sama,” kata Manusia Merdeka, Muhammad Said Didu.
Utang gelap untuk apa? Gampang diduga: untuk membiayai proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung, yang anggarannya terus ’tumbuh’; berbagai pembangkit listrik di sejumlah wilayah; dan perusahaan-perusahaan tambang dimana mereka masuk sampai ke pelosok-pelosok dengan manusianya tanpa terdeteksi, tanpa kejelasan perjanjian dan angka-angka yang bisa diakses.
Pinjaman Cina berbeda dengan pinjaman Jepang, Australia, Amerika Serikat dan lain-lain. Mereka ini memberikan pinjaman berupa kredit ekspor atau kerja sama program. Uangnya mereka serahkan, G to G, dan tidak mensyaratkan jaminan secara fisik. Sedangkan pinjaman Cina: mereka masuk lewat investasi, negara hanya terlibat melalui kebijakan; tetapi kalau gagal, negara harus membayarnya. Itu sebabnya Malaysia tak bisa berkelit, meski rezim berganti. PM Mahathir yang awalnya suruh angkut 460 km infrastruktur bermutu rendah itu terpaksa melanjutkan proyek yang disepakati PM Nadjib Razak, untuk hindari denda Rp71 triliun.
Apa solusi untuk kereta api cepat? Daripada rugi banyak, silahkan mereka jadi pengelola, tapi jangan lanjutkan dengan deal proyek infrastruktur lainnya. Netizen ngitung: proyek itu Rp77 triliun. Bisa balik modal jika dapat hasil bersih Rp1 miliar/hari. Artinya butuh waktu 77.000 hari. Alias 210 tahun. Logis jika ekonom senior Faisal Basri menyebut, “Sampai kiamat pun (kita) nggak bakal balik modal.” Yang paling bahaya sekarang, kata Said Didu, adanya lobi-lobi untuk memberikan kompensasi atas kegagalan kereta api mudharat itu dengan menyerahkan infrastruktur lain kepada Cina. Misalnya, yang sudah disebut-sebut, kereta Jakarta-Surabaya.
Salam,
Irsyad Muchtar