Investasi
Wajah Desa Lelilef, Kabupaten Halmahera Tengah (Halteng), Maluku Utara, berubah meriah. Sibuk. Jadi ‘kota’ industri. Tambang nikel berdiri di mana-mana. Juga muka-muka pekerjanya. Mayoritas sipit. Bukan muka lokal. Tepat di depan kantor PT Huafei Nickel Cobalt, perusahaan tambang milik Cina, terbentang landasan pesawat pribadi. Ukurannya cukup luas. Panjang landasannya 2-3 km. Cukup untuk parkir pesawat sekelas Boeing 747.
Industrialisasi berputar. Pertumbuhan ekonomi Maluku Utara 27 persen dibanggakan Presiden. Capaian terbesar di dunia. Bupatinya mengeluh, angka itu hampa makna buat rakyat. Kabupaten Halteng seluas 227.683 ha itu terbebani 66 izin usaha pertambangan (IUP) dengan luas konsesi 142.964,79 ha. Atau sekitar 60% dari luasan Halteng. Cina menguasai 95 persen tambang nikel. Celakanya, industri tambang nikel banyak yang dibangun di kawasan hutan.
Pemerintah seakan buta dengan sejumlah kerugian dalam investasi nikel. Fatsalnya, Ibu Pertiwi cuma dapat upah kuli dan biaya sewa lahan ala kadar. “Pemerintah yang disebut Faisal penguasa gagal menjanjikan soal pembangunan pabrik baterai untuk mobil listrik. Sampai sekarang, Indonesia cuma mengolah jadi pellet, nickel pig iron, ferro nickel, dan besi baja setengah jadi,” ujar ekonom senior Faisal Basri.
Hampir semua produk smelter nikel itu mereka ekspor ke negeri leluhur. “Penguasa tak mengenakan pajak pertambahan nilai (PPN) karena hampir seluruh produknya mereka ekspor. Tak juga mengenakan pajak ekspor. Penguasa mengobral bijih nikel, menetapkan harga hanya seperempat dari harga di dalam negeri. Atas kondisi tersebut, lumrah saja banyak pengusaha Cina berbondong-bondong masuk.
Tsingshan Holding Group bukan perusahaan ecek-ecek. Di Cina, mereka perusahaan tambang baja dan nikel terbesar. Tsingshan sedikitnya memboyong 800.000 ton nikel dari Desa Lelilef ke Cina, melalui pelabuhan pribadinya. “Kita asumsikan US$23 ribu/ton, Tsingshan mengirimkan NPI atau nickel pig iron berkadar 12 persen nikel. Rumus sederhananya, 800.000 ton dikalikan US$23 ribu dikalikan 12 persen. Didapatkan Rp34 triliun. Angka yang dahsyat,” ujar Mardigu Wowiek.
Dalam tiga tahun terakhir, perputaran uang sebesar Rp50 triliun tidak memberi perubahan signifikan untuk Desa Lelilef. Jangankan kesejahteraan, pembangunan pun praktis nihil. Dibanding 10 tahun lalu, kata Mardigu, kehidupan rakyat di sana tetap saja bergelimang kemiskinan. Sementara kekayaan alam ditambang secara serampangan, uangnya mengalir ke Cina.
Sejauh ini, selain menggerutu ala Joko Widodo, tak ada gelagat dari pemerintah untuk mengaudit fasilitas fiskal luar biasa yang mereka terima. Juga tak ada audit tenaga kerja yang ditengarai menyalahi aturan. "Negara berpotensi mengalami kerugian ratusan triliun rupiah. Apesnya, tak pernah terdengar suara dari Kemenkeu dan Kemenaker," ujar Faisal. Berulang kali penguasa mengumbar bahwa ekspor naik ratusan persen, tetapi devisanya terbang semua.●
Salam,
Irsyad Muchtar