Memperkuat HSE Industri Migas

Pada Mei 2022 menjadi bulan penuh insiden bagi Pertamina. Betapa tidak. Beberapa peristiwa kecelakaan datang bertubi-tubi. Mulai dari meledaknya pipa migas di dua daerah yang berbeda tetapi terjadi di hari sama hingga terbakarnya kilang Balikpapan serta kebocoran tangki timbun di Bali.

Musibah ini menimbulkan keprihatinan bahkan kedukaan. Lahir batin. Pasalnya, ada nyawa manusia yang terenggut akibat insiden. Walaupun jumlahnya seorang, tetapi nyawa insani tidak dapat ditukar dengan kilang minyak seberapa pun tinggi nilai cost pembangunannya. Beruntun dan berulangnya insiden kebakaran kilang, kebocoran pipa dan tangki timbun milik perusahaan plat merah ini menguatkan dugaan terdapat unsur (rekayasa dan by design) kesengajaan.

Kesengajaan dari pihak eksternal berkolaborasi dengan internal. Bersengaja dan bersekongkol mempertahankan dan bila perlu menambah volume impor BBM. Caranya, mensetting dan menskenariokan agar seolaholah terjadi insiden kebakaran kilang. Demikian, kata salah seorang pengamat energi, yang pernah aktif terlibat di Tim Anti Mafia Migas.

Pengamat energi lainnya bilang, insiden kebakaran aset-aset strategis milik Pertamina yang menjadi hajat hidup orang banyak tersebut lebih disebabkan karena faktor usia infrastruktur migas, seperti kilang yang telah lapuk dimakan tahun. Bukan karena adanya unsur kesengajaan dari pihak-pihak, katakanlah mafia migas. Begitulah orang meng-istilahkannya.

Dirjen Migas, Prof Tutuka pun ikut angkat bicara. Selain menepis tudingan dugaan keikutsertaan mafia migas, dia juga menilai beruntun dan berulangnya kebakaran kilang akibat udzurnya usia kilang. “Oleh sebab itu butuh pemeliharaan yang super ekstra hingga peremajaan spare partnya,” kata Tutuka.

Tidak hanya itu, Dirjen Migas telah menerbitkan beberapa regulasi berkait dengan pengamanan dan keamanan kilang. Diantaranya, Terkait keselamatan operasi terdapat Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja Pada Pemurnian Dan Pengolahan Minyak Dan Gas Bumi, mengatur tentang Pengoperasian Peralatan dan Instalasi, Pencemaran Lingkugan, Kewajiban Pengusaha, Kepala Teknik dan Pekerja Bawahannya dan Pengawasan oleh Pemerintah.

Namun apa pun pendapatnya, faktanya kilang, pipa migas dan tangki timbun telah dilalap si jago merah. Kerugian material berbilang. Nyawa manusia pun melayang. Tidak bakal kembali sekalipun ada peremajaan kilang. Oleh karena itu, penguatan aspek HSE mutlak dan menjadi keniscayaan.

Insiden beruntun dan berulang terjadi sebagai akibat lemahnya faktor Health, Safety, Security and Environment (HSE). Apa pun bentuk pembelaan diri dari Pertamina. Apalagi perusahaan ini mendeklarasikan visi menuju perusahaan energi kelas dunia. Perusahaan berkelas dunia tentu tidak boleh abai dan menomorduakan aspek HSE. Apa kata dunia, bila insiden semacam ini terulang lagi di kemudian hari?

Sofyan Badrie