Bisnis Konvensional Ditantang Digital. Demonstrasi besar-besaran yang digelar oleh sopir taksi konvensional tempo hari sebenarnya hanyalah menunjukkan ketidakberdayaan pengelola bisnis konvensional yang sudah merasa nyaman dan tidak siap menghadapi tantangan zaman. Taksi biasa VS taksi online, ojek pangkalan VS ojek online, juga media tradisional VS media digital.
Semua sama. Adalah “serbuan” berbagai platform digital yang mudah diakses (ditambah memberikan tarif menarik dan layanan cepat). Kemudian para pebisnis konvensional menganggap sebagai persaingan tidak sehat. Lalu dicari-carilah landasan hukum dan kelengkapan lain yang dianggap tidak standar dan sesuai hukum sebagai tombak perlawanan.
Industri media cetak telah mengalami hal itu. Yang kemudian kita akrabi dengan istilah “Senjakala Media Cetak”. Cara peliputan, penulisan dan penyajian ikut menjadi unsur yang berubah. Seorang wartawan senior merutuk. Tetapi faktanya konsumen tak peduli. Konsumen hanya menikmati apa yang mereka terima hari ini secara instan, cepat, dan gratis
Sejumlah media lalu bekerjakeras –untuk tidak meratapi nasibnya- melakukan ekspansi ke dunia digital pula. Bersaing sehat, meskipun tidak semua lalu berbuntut untung. Bahkan, saya sangat yakin bahwa Grab atau Uber belum pula menikmati keuntungan. Investasi yang mereka dapat dan gelontorkan saat ini adalah dalam proses menarik sebanyak-banyaknya konsumen lengkap dengan datadata eksklusifnya. Dua perusahaan digital itu tentu kalah untung dengan BlueBird atau Express.
Ini baru pada industri media massa dan transportasi. Jika Anda cermati lagi, industri retail juga bisa menimbulkan persoalan yang sama. E-commerce B to C misalnya yang menempatkan nama seperti Mataharimall, Blibli juga Lazada. Mereka adalah peritel di industri digital. Tidak punya toko konvensional, tetapi penjualan produknya boleh jadi setinggi ritel biasa.