Tampilkan di aplikasi

Larangan rokok di gerbang Latimojong

Majalah Hidayatullah - Edisi 03/2016
19 Februari 2018

Majalah Hidayatullah - Edisi 03/2016

Belasan tahun sejak dimulainya aturan soal rokok, hingga kini warga Bone-Bone bertekad terus mempertahankannya.

Hidayatullah
Matahari menyinari persawahan yang menguning ketika puluhan orang sedang memanen padi. Mereka sudah melakukan itu sejak pagi. Saat siang menghampiri, para petani di Bone-Bone, Baraka, Enrekang, Sulawesi Selatan itu perlahan membubarkan diri. Di antaranya adalah Welli. Pria kelahiran 1942 ini beristirahat di sebuah pondokan.

Usai melucuti alat kerjanya, Welli mengeluarkan be kal makan dari tasnya. Beberapa teguk air minum dan irisan semangka pun membasahi tenggorokannya. Sekitar 15 tahun sebelumnya, bekal wajib yang biasa ia konsumsi setiap melepas lelah di sawah adalah rokok. Iya, kala itu Welli perokok berat, nyaris tiada hari tanpa menghisap rokok. “Satu hari satu malam saya bisa habis dua bungkus rokok,” kenangnya menyebut sebuah merek rokok lawas.

Kini, kebiasaan tak sehat itu sudah lama ia tinggalkan. “Sekarang nda mi merokok,” ujarnya dengan lo gat Duri, suku yang mendiami Bone-Bone, saat ditemui beberapa waktu lalu. Sembari menawarkan semangkanya pada penulis, Welli bertutur, kebiasaan merokok mulai ia kurangi sejak adanya larangan merokok. Saat itu, tahun 2000, Bone-Bone yang masih dusun dipimpin oleh Muhammad Idris.

Perlahan hingga sekitar tahun 2006, Welli berhenti total mengisap batang beracun itu. Ia pun merasakan kesehatannya lebih baik dibanding saat masih merokok. “Ada perubahan. Waktu masih merokok itu sering batuk lama. Tapi sekarang nda terlalu,” ujar kakek berjanggut putih nan tipis ini. Selain itu, saat masih perokok ia hanya bisa ke sawah di lereng bukit agak rendah dan dekat pemukiman.
Majalah Hidayatullah di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI