Tampilkan di aplikasi

Liberalisasi seksual di balik RUU P-KS

Majalah Hidayatullah - Edisi 12/XXX
2 April 2019

Majalah Hidayatullah - Edisi 12/XXX

Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) masuk dalam bahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. / Foto : DOK.SUARA ISLAM

Hidayatullah
Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) masuk dalam bahasan Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Namun, karena masih prokontra, hingga saat ini RUU itu belum dibahas lagi. Hal ini yang membuat kaum feminis bernafsu mendorong legislatif untuk membahas di 2019. Harapannya agar bisa disahkan presiden sebelum pemerintahan berganti rezim.

Dasar yang digunakan kaum feminis agar RUU PKS segera legal adalah karena tingginya angka kekerasan seksual di Indonesia. Menurut catatan Komnas Perempuan 2018, kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat 25 % dari 259.150 kasus pada 2016 menjadi 348.446 kasus pada 2017. (tirto.id/ BhagavadSambadha).Dengan melihat fakta di atas tentunya kita sangat prihatin terhadap kasuskasus pelecehan seksual yang selama ini terjadi.

Namun, kita juga harus waspada upaya kaum liberalis dan feminis yang sangat berambisi agar RUU PKS ini bisa sah menjadi UU. Titik Kritis RUU P-PKS Dalam RUU PKS dirumuskan 9 (sembilan) jenis tindak pidana yang disebut sebagai “Kekerasan Seksual” meliputi: pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

Sepertinya beberapa ruang lingkup tersebut tidak nampak ada problematikanya, sehingga jika orang membacanya tidak mendalam, apalagi jika dibangun argumentasi “demi melindungi perempuan” maka akan cenderung setuju dengan RUU PKS ini.
Majalah Hidayatullah di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI