Tampilkan di aplikasi

Dua musuh politik Hamka dan akhir hidupnya

Majalah Hidayatullah - Edisi 10/XXXII
1 Februari 2021

Majalah Hidayatullah - Edisi 10/XXXII

Melambangkan politik.

Hidayatullah
Dalam buku Hurmatu Ahlil-’Ilmi (322-323) karya Muhammad Ahmad Ismail al-Muqaddam disebutkan, bahwa orang yang menikmati dalam menggunjing bahkan menghina para ulama hendaklah berhati-hati karena dia bisa mendapatkan su`ulkhatimah. (akhir hayat yang buruk).

Beliau mengisahkan satu contoh yang dikemukakan Jamal al-Mishri. Muhammad bin Abdullah az-Zubaidi, sewaktu hidup sering mengumpat dan memfitnah Imam an-Nawawi. Di akhir hayatnya sebagaimana disaksikan Jamal lidahnya melet dan menghitam sebagai tanda akhir hayat yang buruk.

Terkait hal ini, Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah pernah berujar, “Daging ulama itu beracun. Barangsiapa menciumnya, maka dia sakit. Barang siapa memakannya, maka dia mati.” Senada dengan hal itu, suatu hari Makhlad membicarakan keburukan seseorang di sampng Hasan bin Dzikwan, lalu ia langsung ditegur oleh beliau, “Berhentilah! Jangan menyebut ulama dengan sesuatu (yang memburukkannya).

Nanti Allah bisa mematikan hatimu.” Penulis jadi teringat dengan kasus Ulama Besar Indonesia, Buya Hamka. Pada sepenggal hayatnya, ada masa-masa sangat sulit. Beliau difitnah, dijelekjelekkan, bahkan dihancurkan citranya oleh lawan politik. Akhirnya, nasib buruk menimpa di akhir hayat mereka.

Nasib Buruk Bung Karno Pada Era Demokrasi Terpimpin, Buya Hamka pernah difitnah sedemikian rupa oleh Rezim Soekarno. Dalam buku Tafsir al-Azhar Jilid 1 (1987: 51), Buya Hamka menceritakan beberapa fitnah yang dituduhkan kepada beliau. Pertama, ketika memberikan kuliah di I.A.I.N. Ciputat (Oktober 1963), Hamka dituduh menghasut para mahasiswa agar meneruskan pemberontakan Kartosuwiryo, Daud Beureueh, M. Natsir, dan Syafruddin Prawiranegara.
Majalah Hidayatullah di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.
Baca selengkapnya di edisi ini

Selengkapnya
DARI EDISI INI