Tjoet Nyak Dhien
JAWA Barat beruntung punya wanita hebat.
Beruntung pula tanahnya jadi pandam penguburan wanita hebat lainnya dari tanah seberang. Sepatutnya itu menjadi modal semangat wanita Tanah Pasundan di rentang “bulan ibu” ini.
Dewi Sartika, Raden Ayu Lasminingrat, Nyi Rd Siti Jenab Djatradidjaja, Nyi Raden Rachmatulhadiah Poeradiredja adalah sederet di antaranya.
Di Jawa Barat pula terdapat makam kuburan Tjoet Nyak Dhien, wanita hebat dari Lampadang, Aceh. Makamnya ada di Gunung Puyuh, Sumedang, setelah perempuan pejuang itu diasingkan kolonial Belanda dalam kondisi sakit-sakitan dengan pandangan mata yang tak jernih lagi.
Tjoet Nyak Dhien sungguh perempuan yang harus dihormati karena beragam pengorbanan.
Dia adalah perempuan yang dikelilingi nestapa tapi justru bangkit dari duka-duka di sekelilingnya.
Perempuan Aceh dengan darah Minang dari kakeknya itu, adalah perempuan yang tegar. Dia sekaligus ditinggal ayahnya Teuku Nanta Seutia dan suaminya, Ibrahim Lamnga, yang meninggal bersamaan pada sebuah perang. Dialah yang melanjutkan perang itu, mengangkat rencong, melawan kolonial.
Saat hendak dinikahi Teuku Umar, syarat yang dia ajukan hanya satu: dia boleh melanjutkan perjuangan di front terdepan. Saat Teuku Umar meninggal dibunuh Belanda, dia dengan garang memperingatkan anak semata wayang mereka, Tjoet Gambang.
Dia tampar anaknya itu, kemudian dia peluk.
“Sebagai perempuan Aceh, kita kita tidak boleh menumpahkan air mata terhadap orang yang sudah syahid,” katanya.
Tjut Gambang melanjutkan perjuangan ayah dan ibunya. Dia pun meninggal ketika menjadi martir bagi suaminya, putra Teuku Tjik Ditiro, yang hendak ditembak Belanda.
Tjoet Nyak Dhien adalah lambang perempuan yang tegar dan teguh pada pendirian. Dia, sebagaimana juga Dewi Sartika, Lasminingrat, Siti Jenab, atau Nyi Raden Rachmatulhadiah, adalah perempuan-perempuan yang harus kita teladani, terutama bagi perempuan Pasundan saat ini.
Mereka berjuang dengan cara dan gayanya sendiri. Lepas dari beda cara dan gaya, perjuangan mereka adalah untuk satu tujuan.
Kita, yang tak lagi perlu berperang fisik, tak lagi perlu kucing-kucingan mendapatkan pendidikan, dituntut untuk memanfaatkan alam kemerdekaan ini dengan manfaat sebaik-baiknya.
Kita meyakini, dari semangat Tjoet Nyak Dhien, dari ambisi Dewi Sartika untuk kemajuan perempuan, Jawa Barat layak melahirkan perempuan-perempuan hebat yang akan mewarnai sejarah perjalanan kehidupan berbangsa ke depan.
Dalam pada itu, di tengah modernitas perempuan masa kini, maka jangan sekalikali kita pernah melupakan jasa Dewi Sartika, Lasminingrat, Siti Jenab, Nyi Raden Rachmatdulhadiah, dan tentu saja merawat makam Tjoet Nyak Dhien sesbaik-baiknya. (*)