Inilah Koran dapat dibaca gratis dalam masa terbatas di aplikasi smartphone & tablet Android.

Editorial

SEBAGAI apakah Yaqut Cholil Qoumas akan dikenang jika tak lagi jadi Menteri Agama? Bisa jadi ini: Menteri Agama paling kontroversial.

Perbandingannya yang menyebutkan gangguan yang bisa disebabkan kerasnya suara azan melalui alat pengeras suara dengan gonggongan anjing, bagi sebagian kalangan, dianggap keterlaluan. Bahkan ada yang melaporkan ke polisi meski sejauh ini polisi menolaknya.

Buat kita, pernyataan Yaqut tersebut tidak pada tempatnya. Perbandingannya terlalu rendah, meski pada hal yang sama: soal kebisingan. Semestinya, dia bisa mencari perbandingan yang lebih elok dan bermartabat lagi.

Tapi, rupanya begitulah dia. Lebih suka memunculkan kontroversi. Soal suara azan, rasanya baru akhir-akhir ini menjadi persoalan bagi kita. Sebelum era ini, azan, lonceng gereja, sepi yang betul-betul sepi pada perayaan hari besar agama lain, selalu sama-sama kita hormati. Apapun agama dan keyakinan kita.

Tapi, rupanya itu yang sepertinya menjadi prioritas Yaqut. Mengurus keras-lembutnya suara azan. Padahal, tak banyak juga rasarasanya yang terganggu oleh panggilan datangnya waktu salat itu. Kalau kita lihat sisi positifnya, azan subuh misalnya, justru mengabarkan kepada yang masih terlelap bahwa pagi telah datang.

Padahal, banyak urusan lain yang lebih penting yang harus dia dan lembaganya tangani. Misalnya, maraknya kasus-kasus asusila di sejumlah lembaga pendidikan bernuansa keagamaan. Itu mencoreng kita, tapi terlebih mencoreng muka Yaqut dan Kementerian Agama.

Buat kita, persoalan yang lebih besar lagi adalah posisi Yaqut sebagai pejabat negara. Sebagai orang yang dipercaya Presiden Joko Widodo, sepatutnya dia lebih dewasa. Lebih bijak menghadapi dan menyampaikan sesuatu.

Sebab, kedewasaan dan kebijakan itulah yang membedakan seorang tokoh dengan masyarakat biasa. Tapi, dari kontroversikontroversinya, kita melihat Yaqut pada pada kapasitas masyarakat biasa. Belum tokoh.

Hanya ditokoh-tokohkan karena politik. Sebagai menteri, kita menilai dia belum matang. Baru setengah matang. Kita tak heran jika melihat perjalanan kariernya. Dia belum mengalami pergulatan yang bisa mendewasakan dirinya dalam bersikap dan bertindak.

Tapi, Yaqut juga tak salah sepenuhnya. Yang juga ikut salah adalah orang yang mempercayakannya. Tak pada tempatnya menempatkan figur yang belum dewasa dan bersikap dan bertindak pada posisi seperti itu.

Februari 2022