Nikah tak sekadar pengikatan sepasang anak manusia yang saling mencintai. Bukan sekadar peresmian hubungan dua insan lain jenis, lelaki dengan perempuan. Bukan pula sekadar penghalalan hubungan seksual. Dalam Islam, nikah adalah salah satu bentuk peribadatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Karena nikah itu merupakan ibadah, maka kesempurnaannya tergantung pada niat, cara, dan tujuannya. Ketiga hal itu tak boleh dipisah-pisahkan. Bobotnya sama dan seimbang. Jika salah satunya tak terpenuhi, bisa mengancam kesempurnaannya, juga keberkahannya.
Intinya, pernikahan baru disebut sempurna dan berkah jika niatnya benar, caranya benar, dan tujuannya juga benar. Dalam Islam, niat itu sangat penting. Rasulullah Shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ”Sesungguhnya segala amal (ibadahmu’amalah) sangat tergantung pada niatnya.” (Riwayat Bukhari)
Sepasang lelaki dan perempuan yang hendak menikah harus meniatkan pernikahannya karena Allah (lillahi Ta’ala). Boleh jadi perempuan yang dinikahinya itu cantik, kaya, dan bernasab baik, tapi niat dan motivasi yang mendasari pernikahannya bukan karena kecantikannya, kekayaannya, atau karena nasabnya. Ia menikahi perempuan itu karena “agamanya”.
“Perempuan itu dinikahi karena empat faktor, yakni karena harta kekayaannya, karena kedudukannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Hendaknya pilihlah yang beragama agar berkah kedua tanganmu.” (Riwayat Muslim) Rasulullah tidak melarang seorang lelaki menikahi perempuan yang cantik, yang kaya, yang nasabnya baik, asal pertimbangan pertama yang dijadikan landasan menikahinya adalah agamanya.
