Suara penjaja minuman kesehatan yang biasa berkeliling kompleks perumahan berseru menawarkan dagangan di pagar rumah. Aku menoleh pada seorang gadis kecil yang tiba-tiba sibuk mencari sesuatu. “Bunda, jilbabku mana? Aku mau keluar ambil minuman,” tatapnya dengan polos. Setelah dia menemukan jilbab, bergegas menuju pintu keluar.
Sekejap. Tiba-tiba ia berbalik. “Aku lupa belum pakai celana panjang, Bunda. Aku mau pakai celana panjang dulu, Bunda.” Aku menatapnya, “Kenapa mesti pakai celana panjang? ‘Kan cuma ke pagar depan?” Ia menatapku sedih, “Aku maluuu, Bunda.” Aku tersenyum bangga. Kuminta penjaja minuman itu menunggu sebentar dan kupakaikan celana panjang pada putriku yang masih tiga setengah tahun itu.
Ia pun dengan gembira menghampiri penjaja minuman itu. Kecintaan putriku pada jil babnya tak berhenti sampai di situ. Ia bahkan pede (percaya diri) menggunakan jilbab dan baju pan jangnya ketika bermain dengan teman-temannya. Meskipun, hanya dia seorang yang mengenakan jilbab. Walau panas menyengat, dia tetap ceria dan bermain dengan lincah tanpa melepaskan jilbabnya.
Suatu saat seorang temannya menyarankan ia membuka jilbab. “Nggak mau, aku malu,” tegasnya. Perjalanan panjang membuatnya mencintai jilbab dimulai ketika ia terlahir di dunia. Tiada yang kuminta pada Allah Yang Maha Mengabulkan doa kecuali menjadikannya seorang yang shalihah. Mau memakai jilbab, seperti apapun cuaca dan kondisinya.
Doa yang tak pernah putus kupanjatkan karena sungguh, kami sebagai orangtuanya tak pernah dapat mengendalikan ketaatan seorang hamba, meskipun ia adalah anak kami sendiri. Kami pun yakin bahwa hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala yang berkuasa mewujudkan harapan kami, di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang menggoyahkan aqidah dan akhlaq.
