Tahun 1936, Sjahrir dan Hatta tiba di Banda Naira sebagai tahanan politik. bertemu dengan tahanan mereka politik lainnya, Tjipto dan Iwa yang sudah terlebih dahulu berada di sana.
meski ada dalam pengasingan, mereka tak gentar meneruskan perjuangan di bidang sosial dan pendidikan. Kesibukan ini tidak disukai oleh penguasa setempat Hindia Belanda, Kloosterhuis, yang akhirnya memberlakukan pembatasanpembatasan ruang gerak.
Di tengah perjuangannya selama berada di Banda Naira, Sjahrir terus diliputi perasaan gelisah, karena terpisah dengan kekasih hatinya, maria Johanna Duchteau yang berada di Belanda. Kendatipun surat-surat dari maria selalu datang, tapi ia selalu merasa tak cukup.
Dia ingin belahan jiwanya itu ada di sisinya. Kenangan-kenangan indah keduanya kerap berkelebat dalam benak Sjahrir, terlebih kala ia tengah menyendiri di pantai. Dengan perasaan rindu yang sulit terbendung, ia menunggu maria datang ke Banda Naira.
Kisah ini diangkat dari sebuah novel karya Sergius Sutanto bertajuk “Bung Di Banda” yang diterbitkan oleh Gagas media. Novel ini dialihwahanakan oleh almarhum Gunawan maryanto sebagai naskah lakon pementasan yang kemudian ditafsir ulang oleh Wawan Sofwan untuk pertunjukan “mereka yang menunggu di Banda Naira” agar dapat dinikmati dan diterima dengan baik oleh para penikmat seni yang menyaksikan secara langsung maupun dari rumah.
“pentas ini merupakan kenangkenangan yang sangat berarti, yang dititipkan oleh Gunawan maryanto kepada kami. Beberapa waktu lalu, dia telah pergi meninggalkan kita semua. Saya tahu, ketika berkarya, almarhum selalu bekerja dengan sepenuh hati. Dan, kita akan meneruskan energi itu,” ungkap Happy Salma, Founder Titimangsa Foundation dan sang produser pertunjukan.
