Tampilkan di aplikasi

Buku MNC Publishing hanya dapat dibaca di aplikasi myedisi reader pada Android smartphone, tablet, iPhone dan iPad.

Struktur Narasi Perkawinan Dayak Maanyan

1 Pembaca
Rp 77.000

Patungan hingga 5 orang pembaca
Hemat beli buku bersama 2 atau dengan 4 teman lainnya. Pelajari pembelian patungan disini

3 Pembaca
Rp 231.000 13%
Rp 66.733 /orang
Rp 200.200

5 Pembaca
Rp 385.000 20%
Rp 61.600 /orang
Rp 308.000

Pembelian grup
Pembelian buku digital dilayani oleh penerbit untuk mendapatkan harga khusus.
Hubungi penerbit

Perpustakaan
Buku ini dapat dibeli sebagai koleksi perpustakaan digital. myedisi library

Penyusunan buku ini didasari hasil penelitian terhadap narasi aruh adat perkawinan Dayak Maanyan. Dayak adalah istilah umum yang pertama kali digunakan oleh antropolog Barat untuk menunjuk penduduk asli Kalimantan yang tidak beragama Islam (King, 1993 dikutip Klinken, 2006:28). Istilah Dayak dipakai sebagai identitas penduduk yang mendiami pulau Kalimantan (Ukur, 1971:52). Rahmat dan Sunardi menyebutkan bahwa Dayak ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan yang belum memeluk agama Islam (Riwut, 2003:57).

Ikhtisar Lengkap   
Penulis: Dr. Rusma Noortyani, M.Pd

Penerbit: MNC Publishing
ISBN: 9786026397430
Terbit: Januari 2022 , 160 Halaman

BUKU SERUPA










Ikhtisar

Penyusunan buku ini didasari hasil penelitian terhadap narasi aruh adat perkawinan Dayak Maanyan. Dayak adalah istilah umum yang pertama kali digunakan oleh antropolog Barat untuk menunjuk penduduk asli Kalimantan yang tidak beragama Islam (King, 1993 dikutip Klinken, 2006:28). Istilah Dayak dipakai sebagai identitas penduduk yang mendiami pulau Kalimantan (Ukur, 1971:52). Rahmat dan Sunardi menyebutkan bahwa Dayak ditujukan untuk penduduk asli Kalimantan yang belum memeluk agama Islam (Riwut, 2003:57).

Pendahuluan / Prolog

Kata Pengantar
Eksplorasi Budaya Bangsa, Mengintip Budaya Suku Dayak Maanyan melalui Proses Ritualnya Prof. Dr. Maryaeni, M.Pd. (Guru Besar Sastra, Universitas Negeri Malang)

Kebudayaan, sebagaimana juga halnya alam, tidak dapat dibiarkan berkembang dengan sendirinya. Andai kata kebudayaan dibiarkan berkembang dengan sendirinya, maka mereka yang kuat dan kaya akan menjadi makin kuat dan kaya, sedangkan mereka yang lemah dan miskin akan semakin lemah dan melarat. Kekuatan dan kelemahan, serta kekayaan dan kemelaratan dalam hal ini bukan hanya menyangkut kehidupan jasmani belaka, namum juga, menyangkut kehidupan rohani.

Kebudayaan, Sementara itu, bukan sekadar masalah kemaslahatan, namun juga masalah jati diri. Masalah jati diri, sementara itu, tidak lain adalah masalah nilai-nilai. Karena itu, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Edi Sedyawati, “bangsa, atau biasa juga disebut nation, adalah himpunan manusia yang disatukan oleh nilai-nilai … yang sama.” Kebudayaan, dengan demikian, mencakup dua masalah pokok, yaitu masalah kemaslahatan dan masalah jati diri. Kemaslahatan menyangkut aspek jasmani dan rohani, sementara jati diri menyangkut nilai-nilai. Strategi kebudayaan, dengan demikian, ditujukan untuk mencapai dua titik pokok, yaitu kemaslahatan dan jati diri.

Makna kebudayaan, dengan sendirinya, amat luas. Semua aspek kehidupan, sebagaimana misalnya tradisi, pola berpikir, perilaku, estetika, agama, dan sekian banyak aspek kehidupan lain, pada hakikatnya adalah kebudayaan. Karena makna kebudayaan amat luas, sebenarnya kebudayaan tidak bisa dipersempit menjadi kesenian.

Penyempitan makna “kebudayaan” menjadi “kesenian,” tentunya juga mempunyai alasan sendiri. Ada dua hal pokok dalam kesenian, yaitu selera estika dan cara ekspresi estetis. Selera estetika dan ekspresi estetis, khususnya pada jaman dahulu, berhubungan erat dengan dengan kepercayaan dan agama.

Namun, lepas dari apakah selera estetika dan ekspresi estetis terkait dengan kepercayaan dan agama, selera dan ekspresi tersebut tetap dianggap sebagai bagian dari kebudayaan. Alasannya, tidak lain, karena selera dan ekspresi tidak lain adalah pencerminan reaksi masyarakat atau seniman dalam menanggapi realita.

Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan, sebagaimana kebudayaan di berbagai daerah yang lain di Indonesia, bisa menampilkan suatu corak yang khas (Koentjaraningrat, 1986:263). Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan yang khas tersebut tidak berarti menolak unsurunsur budaya luar daerah dan budaya asing, tetapi dapat menerimanya terutama berbagai unsur budaya yang dapat memperkaya khazanah budaya nasional dan mempertinggi derajat kemanusiaan bangsa Indonesia (Penjelasan UUD 1945, pasal 32).

Penggabungan dua unsur budaya atau lebih tersebut disebut akulturasi. Proses akulturasi atau kontak budaya seperti itu wajar terjadi dalam berbagai kehidupan sosial, karena pada dasarnya kelompok manusia dihadapkan pada unsur-unsur kebudayaan di luar daerahnya dan unsur kebudayaan luar itu tanpa menyebabkan kehilangan jati dirinya (Koentjaranigrat, 1986: 248).

Daftar Isi

Cover
Kata Pengantar
Daftar Isi
1. Pendahuluan
2. Narasi
     A. Konsep Dasar Narasi
     B. Cerita dan Alur
     C. Struktur Narasi
     D. Aktor dan Narator
3. Struktur Narasi Perkawinan Dayak Maanyan
     A. Struktur Narasi Tahap Ngantane
     B. Struktur Narasi Tahap Adu Pamupuh
     C. Struktur Narasi Tahap Piadu
4. Aktor dan Narator Narasi Perkawinan Dayak Maanyan
     A. Aktor dalam Aruh Adat Perkawinan Masyarakat Dayak Maanyan
     B. Narator Perkawinan Dayak Maanyan
Daftar Rujukan