Sering kali si kecil berupaya melakukan eksperimen sebagai hasil dari pengamatan, pendengaran, ingatan, dan perkembangan kognitifnya. Tapi jadinya, kadang rumah berantakan karena si kecil mengacak- acak. Apa, sih, untungnya mengacak-acak? Sabar, Ma. Usia batita memang masanya eksplorasi. Ia ingin mengenal dunia dengan menjamah apa saja yang dapat dipegangnya. Malah jika Mama ingat dulu, pada usia bayi, anak sering kali memasukkan segala hal ke dalam mulutnya, tanpa tahu ada kemungkinan bahaya dari tindakan tersebut. Tujuannya hanya ingin mengenal dan merasa akrab dengan lingkungan di sekitarnya.
Nah, mengacak-acak pun bagian dari ekplorasinya, Ma. “Tahapan ini memang akan dilalui oleh semua batita, walaupun dengan karakter dan intensitas yang berbeda-beda, bergantung pada bawaan dan juga pola asuh orangtua,” papar Riana Sahrani, Dosen dan Psikolog dari Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta. Menurut Riana, ada anak yang kerap mengacak-acak, misalnya mainan, karena memang pembawaannya yang senang sekali bereksplorasi, kreatif, dan penuh inisiatif. Namun pola asuh orangtua yang berbeda akan menghasilkan perilaku yang berbeda pula.
Batita A mungkin saja diasuh dengan pola asuh yang permisif, sehingga semakin “menyuburkan” tingkah-lakunya yang suka mengacak-acak. Lain halnya dengan batita B, yang dididik secara disiplin oleh orangtua dengan pola asuh demokratis. Orangtua anak B ini yang mengajarkan secara tegas agar anak membereskan mainan bersama orangtua segera setelah selesai bermain. Semua bisa diacak-acak “Anak pada usia batita sedang melalui tahapan psikososial yang disebut dengan autonomi versus shame doubt. Artinya, pada tahap ini anak sedang ingin membuktikan bahwa dirinya itu mampu bersikap mandiri, menentukan sikap dan tingkah-lakunya sendiri. Maka dari itu ia sedang mencari-cari atau bereksplorasi mengenai segala hal, tidak terkecuali dengan mengacak-acak segala sesuatu, terutama mainannya,” urai Riana panjang lebar.
